Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Beberapa kritik pemikiran kalam klasik;
Al-Ghazali; mengkritik bahwa ilmu kalam tidak bisa mengantarkan manusia mendekati Tuhan, dan gaya penalarannya yang berbelit-belit, yang dapat membawa dampak negatif bagi masyarakat luas, pemikiran Kalam hanya berpretensi untuk membentengi secara rasional akidah yang benar, yang bersumber dari al-Qur‘an dan hadis, dari gangguan ahli bid‘ah. Tetapi menurutnya, untuk menumbuhkan akidah yang benar pada umat yang belum atau tidak menganutnya, Ilmu Kalam tidak bisa dipercaya akan dapat berhasil melakukannnya;
Kritik yang sama juga datang dari Ibnu Rusyd, terutama yang ditujukan kapada golongan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah. Dalam pandangan Ibn Rusyd, takwil-takwil yang dikembangkan oleh golongan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah telah merobek-robek syari‘at Islam dan memacah belah masyarakat Muslim. Tetapi lebih dari itu menurut Ibn Rusyd bahwa prinsip-prinsip metodologi kaum Mutakallimin tidak memenuhi syarat-syarat demonstratif (burhan). Prinsip-prinsip metodologis kaum Asy‘ariyah khususnya, menurutnya, banyak mengingkari hal-hal yang bersifat pasti (addaruriyat), seperti aksiden-aksiden (al-a‘rad), kemampuan sesuatu untuk mempengaruhi sesuatu yang lain, keberadaan sebab-sebab yang merupakan keniscayaan musabab-musabab, bentuk-bentuk substansial, dan medium-medium sekunder.
Muhammad Iqbal, menemukan anomali-anomali (penyimpangan-penyimpangan) dalam pemikiran kalam, suatu studi yang seksama terhadap al-Qur‘an dan berbagai aliran pemikiran kalam klasik yang muncul di bawah inspirasi Filsafat Yunani memperlihatkan dengan jelas bahwa, meskipun Filsafat Yunani telah memberikan sumbangan yang besar dalam memperluas wawasan para pemikir Muslim, namun dia, dalam keseluruhannya, telah mengaburkan visi mereka terhadap al-Qur‘an. Lebih jauh menurut Muhammad Iqbal, bahwa kalam Asy‘ariyah yang menggunakan Filsafat Dialektika Yunani sekedar untuk mempertahankan pandangan ortodoks dalam Islam. Demikian pula Mu‘tazilah, terlalu jauh bersandar pada akal, sehingga akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama pemisahan antara pemikiran keagamaan dan pengalaman konkrit merupakan sebuah kesalahan besar.
Paradigma Baru Ilmu Kalam
Paradigma baru digagas Hasan Hanafi, Ilmu Kalam bukan lagi menjadi Kalam sebagai media Apologis dimensi kelangitan, tetapi diarahkan pada bagaimana kalam mampu berdialektika dengan realitas yang sedang dihadapi manusia kontemporer. Hasan Hanafi menginginkan adanya paradigma baru pemikiran Kalam yang jelas-jelas lebih memihak pada nasib manusia, berusaha agar Ilmu Kalam lebih membumi, relevan dengan permasalahan kekinian dan berusaha memberikan solusi dengan memberikan pemaknaan yang lebih bersifat antroposentris dan menempatkan manusia sebagai pusat kesadaran;
Teologi (Kalam) Pembebasan Asghar Ali Engineer, mengemukakan tiga pokok persoalan yang mendasari pemikirannya. Pertama, mengenai hubungan antara akal dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, mengenai Pluralitas dan Diversitas agama sebagai keniscayaan. Ketiga, mengenai watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan simpati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah. Dalam bukunya Islam and Liberation Theology (1990) Teologi itu tidak hanya bersifat transcendental, tetapi juga kontekstual. Teologi yang hanya berkutat pada wilayah metafisik akan tercerabut dari akar sosialnya. Baginya, teologi adalah refleksi dari kondisi sosial yang ada, dan dengan demikian suatu teologi adalah dikonstruksi secara sosial, tidak ada teologi yang bersifat eternal yang selalu cocok dalam setiap kurun waktu dan sejarah.
Teologi Pembebasan sangat menekankan pada aspek praksis, yaitu kombinasi antara refleksi dan aksi, iman dan amal.Dia merupakan produk pemikiran yang diikuti dengan praksis untuk pembebasan. Jadi teologi pembebasan berupaya untuk menjadikan mereka yang lemah dan tertidas menjadi makhluk yang independen dan aktif. Karena dengan hanya menjadikan manusia yang aktif dan merdeka mereka dapat melepaskan diri dari belenggu penindasan.
Nurcholis Madjid, mengajukan ide teologi universal atau teologi kesatuan agama-agama, dengan beberapa hal yang menjadi pertimbangan yaitu: Pertama, kalau kita sepakat untuk mengatakan bahwa Teologi Universal sebagai antitesis, maka dia merupakan respon atas tesis kenyataan sosial yang sarat dengan konflik. Dengan demikian, Teologi ini sangat penting untuk dipertimbangkan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi problem tersebut. Kedua, Teologi Universal yang lebih mengedepankan aspek esoteris agama-agama, memungkinkan bagi adanya suatu bentuk penyadaran atas hakikat manusia sebagai hamba Tuhan yang mengembang tugas untuk menegakkan kemaslahatan di muka bumi. Ketiga, secara teologis, adanya klaim-klaim kebenaran di dalam agama-agama menuntut adanya suatu perspektif baru. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri
