Oleh: Kurniawan Zulkarnain*
Dalam pandangan Bung Hatta–Bapak Koperasi Indonesia–Koperasi adalah alat perjuangan ekonomi Rakyat Kecil — namun dipanggung ekonomi Indonesia, koperasi masih terpinggirkan. Prakarsa pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KMP) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya dan masyarakat desa. Kementeriah Koperasi mencatat per 9 Juli 2025 telah terbentuk 80.560 Koperasi dan sudah ber-Badan Hukum sebanyak 77.120. Secara kuantitatif, tentu saja merupakan capaian yang patut diacungi jempol. Masalahnya adalah membangun koperasi sebagai lembaga ekonomi tidak semudah membalik telapak tangan,lembaga ini perlu dirawat secara berkala melalui pendidikan anggota agar terbangun kesadarannya dan kepemimpinan kolektifnya.
Ditengah-tengah pembangunan ekonomi kapitalisme justru menegaskan jurang ketimpangan. Tren koefisien Gini menegaskan: dari tahun 2009—saat indeks Gini berada di angka 0,334—terjadi kenaikan tajam hingga puncaknya di 0,413 pada 2013. Setelah sedikit mereda, angka itu cenderung stabil tinggi, berkisar antara 0,38 hingga 0,39, dan tercatat di angka 0,391 pada 2023. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) angka ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan Indonesia belum merata, bahkan memperlihatkan pola stagnan yang mengkhawatirkan. Ketimpangan ini menjadi pertanda bahwa sistem ekonomi berbasis pasar belum mampu menyejahterakan secara adil, dan di situlah peran koperasi seharusnya tampil: sebagai penggerak distribusi keadilan ekonomi dari bawah. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Dalam percaturan pembangunan, kapitalisme global—di mana valuasi startup bisa meroket meski belum mencetak laba—koperasi, yang dibangun di atas nilai solidaritas dan partisipasi, makin tergeser dari pusat panggung ekonomi. Padahal, tujuh prinsip koperasi yang dirumuskan oleh International Cooperative Alliance (ICA)—keanggotaan sukarela dan terbuka, kendali demokratis oleh anggota, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian, pendidikan dan pelatihan, kerja sama antar koperasi, serta kepedulian terhadap komunitas—adalah fondasi yang tak hanya relevan, tapi mendesak untuk dikukuhkan kembali.
Perkembangan Koperasi
Hingga Juli 2025, jumlah koperasi aktif di Indonesia tercatat 130.354 unit, dengan pertumbuhan 1.500 koperasi baru (termasuk Kopdes Merah Putih) hanya dalam satu bulan. Modal total koperasi mencapai Rp 275 triliun dan menyumbang 6,2 persen terhadap PDB nasional, naik dari 5,7 persen pada tahun 2021. Tetapi potensi ini belum tergarap maksimal. Sekitar 77,9 persen koperasi masih bergerak di sektor jasa keuangan (simpan pinjam), dan hanya 9 persen yang menyentuh sektor riil seperti pertanian dan perdagangan rakyat.
Kontras ini menunjukkan jurang yang lebar antara potensi koperasi dan posisi aktualnya dalam ekosistem ekonomi nasional. Ketika koperasi petani di Toraja (Sulawesi Selatan) dan nelayan di Pesisir Selatan masih terseok-seok mencari akses pasar dan modal, start-up digital yang belum untung justru diguyur investasi asing dalam jumlah fantastis. Di sinilah prinsip otonomi dan kemandirian diuji—karena banyak koperasi akhirnya terpaksa menggandeng modal eksternal dengan risiko kehilangan kendali demokratisnya. Sementara prinsip pendidikan dan pelatihan masih tertinggal, dan kerja sama antar koperasi belum membentuk ekosistem yang kuat dan mandiri.
Secara ilmiah, koperasi terbukti mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi alternatif yang adil dan berkelanjutan — namun secara politik dan struktural, koperasi belum diberi ruang yang cukup untuk berkembang. Dominasi ekonomi berbasis kapital menjadi penghalang utama: menghargai efisiensi di atas etika, profit di atas partisipasi. Dalam lanskap seperti ini, koperasi justru menjadi simbol resistensi—bukan semata entitas bisnis, melainkan gerakan sosial-ekonomi yang menawarkan sistem distribusi kekayaan yang lebih berkeadilan.
Koperasi Desa Merah Putih
Berbekal Intruksi Presiden (INPRES) nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa Merah Puti pejabat mulai dari Kementrian/Lembaga dan Pemerintah Daerah hingga Kepala Desa/Lurah bergerak secara masif untuk mencapai target yang telah ditentukan. Dalam waktu kurang dari 6 bulan,seluruh desa/kelurahan yang berjumlah 84.276 hampir 95 persen diantaranya telah memiliki KMP — rekor yang pantatis. Pemerintah menyediakan Standard Operating Procedure (SOP) pembentukan dan beragam template mulai dari AD/ART, proposal usaha hingga dukungan dana untuk biaya notaris peroleh Badan Hukum.
Dalam berbagai kesempatan Menko Pangan dan Menkop sebagai Tim Satgas Nasional pembentukan KMP menyatakan bahwa penyaluran pupuk, LPG, Bansos, dan BLT akan lewat KMP ini. Disamping usaha-usaha lain seperti Simpan Pinjam,Toko Sembako, dan Apotek dan klinik desa. Sisi permodalan disediakan plafond kredit sebesar Rp.3 milyar dari Himpunan Perbankan Rakyat (Himbara). Tentu saja kredit tersebut diperoleh melalui proposal kelayakan usaha yang diajukan KMP bukan hibah atau bantuan. Dinyatakan Menko Pangan bahwa dana desa (program yang kini sudah jalan) siap sebagai penjamin atas pemberian kredit pada kopdes Merah Putih ini.
Pembentukan Kopdes Merah Putih bukan tanpa kritik, Profesor Darmadi Durianto dari Fraksi PDIP mempertanyakan mengapa pembentukan KMP dilakukan secara masif dan serentak tidak secara bertahap, sepertinya dipaksakan kejar target tanpa sosialisasi yang memadai. Sementara Prof. Imam Mujahidin Fahmid– Guru Besar Universitas Hassanudin, Makassar –menyatakan bahwa pemberian akses pinjaman dengan plafond sebesar Rp.3 Milyar/per-kopdes tanpa pendidikan anggota dan internalisasi nilai-nilai kerelawan, partisipasi dan gotong, koperasi akan menjadi bumerang dan moral hazard. Potensi komplik bisa saja terjadi antara Kopdes Merah Putih dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang memiliki usaha yang sama. Tentu saja kritik ini merupakan vitamin untuk keberlanjutan Kopdes Merah Putih.
Kita punya pengalaman berharga dengan pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD) pada tahun 80-an — lembaga ini menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam melancarkan program-program seperti Bimas, Inmas, bahkan pupuk bersubdi tanpa kendali dari anggota koperasi. Adanya ketergantungan pada bantuan dan subsidi pemerintah – namun ketika bantuan dihentikan, banyak KUD langsung kolaps karena tidak memiliki usaha yang benar-benar produktif untuk keberlansungannya. Kita harus kawal Kopdes Merah Putih ini agar menjadi koperasi sejati (mandiri), bukan Pedati (didorog-dorong) apalagi Merpati (hidup karena belas kasihan). Berharap Kopdes Merah Putih tidak hendak mengulang cerita masa lalu–memutar arah jarum jam. Wallahu ‘Alam Bi Sowab.
*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat
Editor: Jufri Alkatiri