Oleh: Prof. Dr. Murodi al-Batawi, MA*
Kalimat saya bangga jadi Santri meluncur ke luar dari mulut salah seorang santriwati pondok pesantren peradaban Uswatun Hasanah — lembaga pendidikan Islam di bawah pimpinan intelektual progresif, Dr. Fuad Jabali,MA, di Cicalengka, daerah perbatasan Bandung Selatan – Garut (Jawa Barat). Dia, sebut saja namanya Halimah Sa’diyah — sangat luar biasa saat sambutan dan membacakan puisi tentang pesantren. Halimah Sa’diyah bukan berasal dari keluarga berada. Dia berasal dari keluarga miskin dan dhu’afa — datang ke pondok pesantren Uswatun Hasanah di antar orang tuanya yang papa dan dha’if. Sama seperti anak-anak santri lainnya. Mereka datang tidak membawa apa-apa untuk menjadi santri. Hanya bawa diri dan cita-cita yang disimpan dalam angannya. Mereka orang miskin dari keluarga buruh tani. Mereka ingin menjadi orang sukses, seperi KH. Fuad Jabali, MA — Tokoh pesantren yang jadi idola mereka.
Di daerah tempat kelahiran itulah pondok pesantren Uswatun Hasanah berada. Pesantren yang semuanya gratis. Dalam sambutannya, pimpinan pondok pesantren ini menyampaikan bahwa dahulu lembaga ini memiliki segalanya, semua fasilitas ada, mulai dari fasilitas pendidikan, olah raga, peralatan music, dan lain sebagainya. Kondisi ini terjadi ketika pondok pesantren Uswatuh Hasan dipimpin oleh pendirinya, Dr. H. Ili Sasmitaatatmaja. Beliau adalah seorang pengusaha dan kontraktor besar yang sudah memiliki hubungan dengan para pengusaha Jerman. Waktu itu, da juga memiliki hubungan erat dengan presiden Sukarno, dan Mohammad Nasir, sehingga Sukarno dan Mohammad Nasir berkeingin menjadikan pesantren ini menjadi salah satu pusat peradan Islam di Jawa Barat. Karenanya, nomenklatur ini tetap dipertahankan hingga kini, Pesantren Peradaban.
Pondok Pesantren Uswatun Hadsanah: Mulai bertfanformasi
Di pondok ini, yang awalnya dikenal sebagai pondok moderen (khalaf), dan bermazhab salah satu Ormas Islam, Persis, bahasa, Arab dan Inggris menjadi sangat penting. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan dia bahasa tersebut. Karenanya, saat kami disambut oleh para santri, mereka yang masih berusia belasan tahun, paling tua berusia 15 tahun, usia pelajar SMP (belum ada SMA), sudah sangat fasih berbahasa asing. Padahal, mereka secara khusus tidak tidak fokus pada pada bahasa, tetapi selalu dipraktikkan dalam berkomunikasi sehati-hari.
Tetapi, setelah sekian lama lembaga pendidikan sempat terhenti karena banyak hal, salah satunya kurang donasi setelah pendiri dan pimpinannya wafat, semua kegiatan tersendat bahkan nyaris terhenti, karena ketiadaan dana dan tidak ada dana untuk membayar para asatidz. Terlebih, memang, sejak awal para santri di sini tidak dipungut biaya apapun untuk proses pembelajaran. Melihat kenyataan ini, akhirnya, mantan santri senior yang sudah dianggap berhasil, dan sudah melanglang buana menjadi seorang intelektual, Dr.H. Fuad Jabali,MA, terpanggil nuraninya untuk mengelola pondok pesantren ini, tanpa dibayar. Bahkan dia sendiri berusaha mencari donatur untuk membantu pembiayaan pengembangan pesantren ini.
Sejak saat itulah, pondok pesantren ini yang dahulunya tidak akomodatif terhadap Turats, mulai mengakomodasi segala hal berkaitan dengan warisan tradisi. Kajian kitan Turats, seperti kitab-kitab kuning mulai dikaji. Untuk itu, KH. Dr. Fuad Jabali,MA, mengajak para asatidz alumni pondok pesantren tradisional untuk membantunya mengajar di Pesantren Uswatun Hasanah. Dan mulailah pesantren ini bertranformasi dari pondok pesantren yang tidak mengakomodasi tradisi pesantren (Turats), mulai mempraktikkan tradisi tersebut di lembaga pendidikan Islam ini. Dia mempunyai cita-cita besar untuk mengembalikan pondok pesantren ini kembali menjadi pusat peradaban Islam, tidak hanya untuk Jawa Barat, juga untuk Indonesia, bahkan Dunia. Kita berdo’a dan membatu semampu kita untuk mewujudkan cita-cuta mulia KH. Dr.Fuad Jabali,MA. InsyaAllah.
Pondok pesantren yang ada di Indonesia, merupakan ibarat Kawah Candra Dimuka — tempat meniti dan menimba ilmu pengetahuan, agama, dan umum. Dari tahun ke tahun, jumlah lembaga pendidikan ini — kian bertambah, baik pesantren tradisional (Salafiyah), maupun pesantren moderen (khalafiyah). Bahkan yang dahulunya hanya berfokus Tafaqquh fi al-Dien mengkaji kitab klasik, yang dikenal sebagai Kitab Kuning, kini tidak hanya kajian Kitab al-Turats. (*)
*Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengamat Sosial Kemasyarakatan
Editor: Jufri Alkatiri