Renungan Dino Jemuwah: Dimensi Shalat (bag-2)

Oleh: Anwar Rosyid  Soediro*

B.Dimensi Rasional

Anugerah manusia lainnya adalah berpikir dan berbicara secara rasional; oleh karena itu, dimensi rasional dalam shalat harus diaktualisasikan selama perjumpaan dengan Tuhan — yakni ketika berdialog melalui do’a (dzikir).  Dengan demikian, dzikir memiliki banyak manfaat rasional bagi kehidupan manusia, baik secara spiritual maupun psikologis. Melalui dzikir, seseorang dapat mencapai ketenangan jiwa, memperkuat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah, dan meraih kebahagiaan hakiki.

Manusia diselamatkan bukan hanya dengan menjauhi kejahatan, tetapi juga dengan mencapai Kebaikan Mengingat Tuhan; Shalat merupakan perbuatan terbaik karena menjadikan Tuhan sebagai objeknya dan hati kita sebagai agennya, dan inilah  mengingat Tuhan  atau dzikrullah.

Hakikat shalat adalah iman — karenanya keyakinan seseorang yang mendirikan shalat; diwujudkan justru melalui ucapan, atau permohonan, yang ditujukan kepada Kebaikan Yang Maha Kuasa. Doa, atau permohonan, setara dengan keyakinan akan Tuhan dan panggilan spiritual kita. Perbuatan sah menurut niatnya; jelas bahwa dalam shalat tidak boleh ada niat yang ternoda oleh ambisi apa pun; shalat harus murni dari segala kesia-siaan duniawi, agar terhindar dari Murka Surga (kemarahan atau ketidaksetujuan Allah terhadap tindakan manusia yang dianggap berdosa atau melanggar perintah-Nya).

Do’a yang khusyuk sepenuh hati tidak hanya bermanfaat bagi orang yang melakukannya; doa juga memancar di sekelilingnya dan dalam hal ini merupakan perwujutan dari tindakan amal. , “Sesunggunya shalat itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah ayat 45).

Khusyuk adalah kesadaran diri dengan penuh kerendahan kehambaan di hadapan keagungan realitas ketuhanan. Khusyuk dirasakan seperti kesadaran eksistensial diri kita sebagai manusia di hadapan Sang Maha Pencipta, Maha Mengetahui, dan Maha Pengasih. Khusyuk, yang lahir dari cinta kepada Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, sehingga pada gilirannya akan menghasilkan cinta pula kepada ciptaan-Nya.

Setiap manusia mencari kebahagiaan, melalui kehendak bebas dari Allah dalam pemikiran dan kesadaran, dapat menjadi alat untuk mengendalikan hawa nafsu. Dalam shalat untuk dapat khusyuk perlu thuma’ninah. Kata thuma’nihah memiliki akar kata yang sama dengan muthma’innah dalam Al-Quran. Ada bagian di dalam Al-Quran yang menggunakan kata muthma’innah untuk menjelaskan perjalanan jiwa dari dari al-nafs al-ammarah (jiwa yang menghasut) dan al-nafs al-lawwamah (jiwa yang menyalahkan) menuju al-nafs al-muthma’innah (jiwa yang damai atau tenang).

Dengan memahami sifat alami nafsu dan dampaknya, seseorang dapat belajar untuk tidak selalu mengikuti dorongan impulsif dan membuat pilihan yang lebih bijaksana dan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini;  Kebahagian adalah wujud dimensi lain dari kodrat manusia. Tidak ada kebahagiaan sempurna di luar Tuhan; kebahagiaan duniawi apa pun membutuhkan berkat Surga.

Shalat menempatkan kita di hadirat Tuhan, yang merupakan Kebahagiaan Sejati; jika kita menyadari hal ini, kita akan menemukan kedamaian di dalam dirinya. Kedamaian adalah puncak kenikmatan, dan itu bisa dicapai melalui shalat yang sebenarnya. Itulah mengapa Rasulullah menyatakan dalam sejumlah hadis bahwa shalat adalah “pelipur jiwanya” dan “penyejuk matanya”.

Lebih jauh shalat dengan thuma’ninah mampu menjaga pelakunya dalam keadaan antara terjaga dan tertidur — apalagi jika kita bisa menghayati makna puitis dan simbolik di balik bacaan dan gerakan shalat seperti para sufi.

Pada saat perjalanan jiwa meneuju muthmainah ini menunjukkan bahwa manfaat shalat dalam mencerahkan intelektual, dan dapat berperan dalam penyembuhan sejumlah penyakit seperti jantung, stroke, dan depresi, seperti disimpulkan oleh Herbert Benson, ahli ilmu kedokteran Harvard University dalam bukunya Relaxation Response. Benson bahkan mengakui dzikir (bacaan shalat mengandung dzikir) bisa mendatangkan kondisi seperti ini. Keadaan thuma’ninah, yang dalam terminology psikologi dikenal dengan kondisi Flow yaitu kondisi mengalir hanyut terlibat sepenuhnya dalam suatu prosesi shalat demi dirinya sendiri (sang-aku).

Ego pun sirna; Waktupun berlalu terasa cepat; Setiap tindakan, gerakan, dan pikiran pasti mengikuti irama alunan bacaan do’a, dan dzikir, Seluruh diri pribadi terlibat, dan akan menggunakan daya kemampuannya semaksimal mungkin;  Flow juga bisa memantik kreativitas (kemampuan memunculkan gagasan baru) atau mencerahkan intelektual kita. Dalam kondisi flow, otak manusia mentransmisikan gelombang tetha, gelombang yang berada di antara gelombang alpha (dipancarkan saat terjaga) dan gelombang betha (yang dipancarkan saat tertidur). Saat otak mentransmisikan gelombang tetha inilah, manusia memperoleh pemikiran terbaiknya. (Bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta

 Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *