Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
C.Dimensi Keabadian
Dimensi Keabadian dari Shalat berasal dari kenyataan bahwa di satu sisi manusia bersifat fana dan di sisi lain dia memiliki jiwa (ruh) yang abadi; ruh harus melewati kematian, dan di atas segalanya ia harus peduli dengan alam kelanggengan (Keabadian), karena alam ruh yang ada di tangan Tuhan. Dalam konteks ini, shalat akan menjadi permohonan kepada yang maha kasih yang abadi (ar-rahimu, al-baqi) sekaligus wujud tindakan iman dan kepercayaan; Semua yang ada di bumi itu akan binasa (fana), tetapi wajah (bertemu) Tuhanmuyang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal. (QS. Ar-Raman: 26-27).
Dalam shalat, bukan hanya mengandung gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan verbal — akan tetapi dalam shalat, mengandung pula bacaan yang memiliki makna, berwujud do’a, dan bernilai harapan-harapan. Dan kandungan shalat (do’a dan harapan), itu pun dilakukan secara berulang-ulang, mengalami sebuah proses repetition (pengulangan).
Proses repetition yang ada mencakup dimensi atau berada dalam ranah psikologis-mental-jiwa-nurani-ruh. Meskipun ini abstrak tetapi jejak dan efeknya nyata dan jauh lebih dahsyat bahwa habits (kebiasaan) itu mengandung dua hal practice (latihan), dan repetition. Dan berdasarkan hukum alam, baik yang terjadi dalam makrokosmos (alam semesta) maupun mikrokosmos (diri manusia), bahwa segala yang dilakukan secara berulang-ulang akan meninggalkan jejak/bekas (atsaris sujud)
Maka, sejatinya dalam tinjaun filosofi habits, dan termasuk jika memahami secara psikologis mekanisme dan fungsi alam bawah sadar, maka setelah proses input, process, akan menghasilkan output berupa sikap (input-proses-output), dan bahkan akan berwujud karakter sesuai dengan do’a, harapan-harapan, dan makna dalam bacaan-bacaan shalat kita. Sehingga, dapat digarisbawahi (ditegaskan) bahwa shalat merupakan character building keabadian manusia. (Bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri