Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
D. Dimensi Pengetahuan Metafisik
Bakat fundamental manusia adalah kecerdasan yang mampu memiliki pengetahuan metafisik (tradisi intelektual para sufi/salik yang lazim disebut ilmu tasawuf); Seorang metafisikawan adalah ahli filsafat yang mempelajari sifat dasar realitas, eksistensi, dan hubungan antara pikiran dan materi. Mereka menyelidiki pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang keberadaan, waktu, ruang, sebab-akibat, dan hubungan antara pengetahuan dan realitas.
Dampak dari kapasitas pengetahuan metafisik tentu menentukan dimensi doa, yang kemudian bertepatan dengan cara melakukan meditasi; Subjeknya pertama-tama adalah realitas absolut dari Allah Swt, dan kemudian non-realitas—atau realitas relatif—atau dunia, yang merupakan locus (tempat) memanifestasikan Nama-Nama Indah-Nya (asmaul husna). Namun, manusia tidak boleh menggunakan niat yang melampaui kodratnya; jika mereka bukan seorang metafisikawan, mereka tidak boleh menganggap dirinya wajib menjadi seorang metafisikawan.
Tuhan tetap mengasihi anak-anak sebagaimana Dia mengasihi orang-orang bijak; dan Allah Swt. mengasihi ketulusan seorang anak yang tahu bagaimana tetap menjadi seorang anak yang baik. Hal ini berarti bahwa dalam doa terdapat dimensi-dimensi yang wajib bagi setiap orang, dan dimensi-dimensi lain yang dapat dia sapa dari jauh; karena yang penting dalam konfrontasi permasalahan ini bukanlah besar atau kecilnya manusia, melainkan bahwa dia berdiri dengan tulus ikhlas di hadapan Tuhan. Di satu sisi, manusia selalu kecil di hadapan Sang Penciptanya; di sisi lain, selalu ada keagungan dalam diri manusia ketika ia menyapa Tuhan; dan pada akhirnya, setiap kualitas dan setiap jasa adalah milik Kebaikan Yang Berdaulat.
Shalat adalah meditatif yang thuma’ninah digambarkan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, sorang psikologi positif, meditasi thuma’ninah dimana kondisi pikiran yang teratur dan selaras, di mana individu merasa sangat menikmati dan terdorong untuk melakukan aktivitas tersebut — yaitu konsentrasi mendalam (pikiran tidak bercabang-cabang), perasaan kendali penuh atas segala sesuatu, perasaan bahwa moment saat ini sebagai satu-satunya yang penting (dimensi waktu yang memecah durasi kehidupan seakan meluruh), dan hilangnya ego (batasan individual yang memisahkan seseorang dari yang lain).
Sehingga sebagaimana telah disebutkan bahwa dimensi do’a meditatif yang isinya adalah realitas absolut dari Tuhan sebagai Prinsip Tertinggi dan kemudian, secara korelatif, non-realitas—atau realitas yang lebih rendah—dari dunia, yang merupakan manifestasikan Prinsip itu — tetapi tidak cukup untuk mengetahui bahwa “realitas tertinggi adalah realitas yakni dunia (makrokosmos) adalah manifestasi atau penampakan Prinsip Tertinggi”; sejalan dengan itu juga perlu untuk mengetahui bahwa jiwa (ruh) tidak lain adalah esensi ralitas.
Kebenaran kedua (ruh esensi realitas) bahwa ruh adalah nafas-Ku. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan Roh-Ku kepadanya, maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya. (QS. Shaad ayat72). Ayat ini mengingatkan manusia bahwa kita mampu mencapai dimensi ilahi, ketika jiwa cenderung ke menuju arah Prinsip Tertinggi tidak hanya dalam modus intelektual, tetapi juga dalam modus eksistensial; hal ini dihasilkan dari fakta bahwa manusia memiliki tidak hanya kecerdasan yang mampu memiliki pengetahuan objektif, tetapi juga kesadaran akan “Aku”, yaitu aku yang hakikatnya ruh Tuhan yang pada prinsipnya mampu bersatu secara subjektif.
Di satu sisi, ego terpisah dari Keilahian yang imanen karena itu adalah manifestasi, bukan prinsip; Di sisi lain, aku bukanlah yang lain selain Prinsip sejauh Prinsip itu memanifestasikan diri-Nya, sebagaimana pantulan Matahari di cermin bukanlah Matahari, tetapi tetap saja bukan yang lain sejauh pantulan itu adalah cahaya matahari dan bukan yang lain.
Menyadari hal ini, manusia tidak pernah berhenti berdiri di hadapan Tuhan, yang sekaligus transenden dan imanen; dan Dialah, bukan kita, yang menentukan ruang lingkup kesadaran kontemplatif kita dan misteri takdir spiritual kita. Kita menyadari bahwa mengenal Tuhan secara universal berarti Tuhan mengenal Diri-Nya di dalam kita; tetapi kita tidak dapat mengetahui sejauh mana Dia bermaksud mewujudkan Kesadaran Diri ilahi ini di dalam kita; dan tidaklah penting apakah kita mengetahuinya atau tidak. Kita adalah diri kita sendiri, dan segala sesuatu berada di tangan Penyelenggaraan Ilahi, Allah Rabbul ‘alamin. (Habis)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri