Renungan Dino Jemuwah: Tuhan Maha Hadir (Foto: shaikhsalehacademy.com)
Oleh : Anwar R. Soediro*
B. Kemahahadiran Tuhan (Omni Present)
Fisika moderen menghidupkan kembali gagasan yang umumnya dikaitkan dengan filsafat atau agama Asia, yang ketika zaman itu dipahami sebagai sesuatu yang sama sekali asing bagi pemikiran Barat atau dalam kancah sciences.
Filsafat Monisme dan Monoteisme menganut paham bahwa segala sesuatu di alam semesta adalah bagian dari suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan utuh, atau dengan kata lain: Bahwa “Semua berasal dari wujud yang Satu”. (Dalam hal ini tidak akan membahas filsafat Monisme, yang memilki pengertian tumbang tindih dengan Monoteisme).
Semua berasal dari wujud yang satu pernyataan ini merujuk pada pengertian tawhid telah banyak diuraikan dalam tulisan Tradisi Intelektual atau ilmu Tasawuf, bahwa alam semesta adalah wujud atau manifestasi dari Tuhan; yakni alam semesta (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos) merupakan cerminan Tuhan, sebagaimana kita melihat Matahari dalam cermin, kita dapat melihat matahari dengan jelas dalam cermin akan tetapi kita juga yakin bahwa matahari dalam cermin bukanlah matahari. Hal yang sama ketika melihat sifat-sifat dan asma ataupun nama-nama Tuhan pada semesta dan diri manusia, orang beriman meyakini bahwa tuhan dalam cermin semesta itu bukanlah Tuhan yang sejati.
Sejarah menunjukkan bahwa monoteisme tidak eksklusif di Asia, akan tetapi juga menjalar pada tradisi Eropa maupun tradisi Ilmiah Barat. Hal ini dapat diamati hingga saat ini bahwa gagasan tentang kesatuan yang menyeluruh merupakan hal yang umum di banyak agama pribumi di Amerika, Afrika, Asia, atau Oseania yang sering kali menganut konsep alam yang sakral atau spiritual. (*)
Salah satu aspek mekanika kuantum yang paling menakjubkan adalah keterikatan (entanglement). Ketika partikel terjerat, mereka berperilaku seperti sistem terpadu sehingga keadaan salah satu partikel langsung memengaruhi keadaan partikel lain, meskipun mereka dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh. Dalam istilah teknis, sifat-sifat mereka berkorelasi sedemikian rupa sehingga menentang intuisi klasik tentang lokalitas.
Einstein menyebutnya “aksi seram dari kejauhan,” karena mengukur satu partikel tampaknya langsung memengaruhi pasangannya yang terjerat, seolah-olah ada benang tak kasat mata yang menghubungkan mereka melintasi ruang. Eksperimen telah mengonfirmasi bahwa keterjeratan itu nyata: partikel-partikel yang terjerat mengoordinasikan perilaku mereka lebih cepat daripada sinyal apa pun yang dapat bergerak di antara mereka, menunjukkan adanya interkoneksi mendalam yang tertanam dalam jalinan realitas.
Bagi orang-orang beriman, sulit untuk tidak melihat paralel antara keterjeratan dan konsep teologis tentang Tuhan yang Maha Hadir. Dalam tradisi Abrahamik (Semit), Tuhan dipahami hadir sepenuhnya di mana-mana sekaligus tidak tersebar luas, melainkan sepenuhnya dapat diakses di setiap tempat dan saat [Huwa ma’akum ainama kuntum, Dia (Allah) bersamamu dimanapun kamu berada. QS. al-Hadid/57: 5].
Kemahahadiran Ilahi ini berarti bahwa jarak tidak menjadi penghalang bagi pengetahuan atau tindakan Tuhan. Keterikatan kuantum menawarkan sebuah model (atau setidaknya sebuah metafora) tentang bagaimana suatu pengaruh dapat diberikan secara instan melalui setiap pemisahan. Sebagaimana dua partikel yang terjerat tidak pernah benar-benar terisolasi satu sama lain, dapat dikatakan bahwa seluruh ciptaan senantiasa terhubung dengan Sang Pencipta dalam semacam hubungan “terjerat” yang melampaui fisik ruang dan waktu.
Beberapa literature telah secara eksplisit menggambarkan analogi ini, menunjukkan bahwa interaksi Arsy singgasana Tuhan dengan dunia, dalam mengelola dan memelihara semesta dapat dipikirkan dalam konteks koneksi non-lokal, mirip dengan keterikatan, yang menghubungkan setiap partikel dan setiap orang dengan yang Ilahi. Dalam pandangan ini, Tuhan tidak perlu “melakukan perjalanan” tetapi ber-istiwa diatas Arsy untuk campur tangan di galaksi yang jauh atau untuk mendengar doa dari seberang bumi, seperti partikel yang terjerat, koneksinya langsung dan selalu aktif.
Hal ini sebagaimana Rasyid Ridha dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Arsy adalah pusat pengendalian (control throne) segala persoalan semua makhluk Allah subhanahu wa ta’ala di alam semesta, sebagaiman dijelaskan firman Allah dalam surat Yunus (10): 3 …..Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy”
Keterikatan juga mengisyaratkan realitas holistik yang mendasarinya: alam semesta mungkin sangat relasional, dengan bagian-bagiannya berada dalam kesatuan yang bermakna dengan bagian-bagian lainnya. Hal ini sejalan dengan perspektif Teologis yang menekankan kesatuan ciptaan di bawah satu Tuhan. Dalam pemikiran Islam Sufi, keterkaitan segala sesuatu merupakan tema yang berulang, sebuah gagasan bahwa keragaman dunia pada akhirnya berakar pada Yang Esa.
Keterikatan kuantum memberikan ilustrasi fisik yang menyolok tentang bagaimana entitas yang terpisah dalam beberapa hal dapat menjadi satu. Meskipun diskusi ilmiah mekanika kuantum tentang keterikatan tidak merujuk pada Tuhan, diskusi tersebut menunjukkan bahwa gagasan fisika klasik tentang objek yang sepenuhnya independen tidaklah lengkap. Realitas lebih terhubung dan relasional dari pada yang pernah di asumsikan.
Bagi orang beriman, hanya lompatan kecil untuk mengatakan bahwa realitas yang saling terhubung ini ditopang oleh Dia, yang merupakan sumber segala keberadaan. Singkatnya, keterikatan dapat berfungsi sebagai analogi ilmiah untuk hubungan erat Tuhan dengan alam semesta: sebagaimana partikel-partikel yang terjerat merespons satu sama lain melintasi batas apa pun, Tuhan dapat terus hadir dengan setiap bagian ciptaan-Nya, memegang semuanya dalam satu kerangka acuan ilahi di luar batas normal ruang dan waktu.
Ini adalah cara puitis untuk memvisualisasikan kemahahadiran dalam fisika moderen secara terang benderang bukan sebagai gagasan spiritual yang samar, tetapi sebagai sesuatu yang hampir secara teknis tercermin dalam struktur terdalam dunia fisik.
Note:
(*) mulai dari dewi Isis Mesir kuno yang mewakili “segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi” atas Roh Agung Manitou dari Suku Indian Amerika di Timur Laut yang mendiami hewan, tumbuhan, dan bebatuan serta dapat memanifestasikan dirinya dalam guntur dan gempa bumi, hingga konsep lokahi dalam agama tradisional Kepulauan Hawaii yang mencerminkan persatuan yang berlawanan dan harmoni berbagai elemen, menurut filsuf agama Hawaii, Gwen Griffith-Dickson. (Bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri