Oleh: Kurniawan Zulkarnain*
Ditengah gegap gempita, menyiapkan peringatan HUT-RI ke- 80 tahun. Publik dikejutkan oleh aksi masa di daerah Pati tanggal 13 Agustus 2025 merespon kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang mencapai hingga 250 persen. Gerakan Rakyat Pati telah menginspirasi dan menjadi cetak biru bagi daerah lain seperti Bone dan Banyuwangi melakukan gerakan yang sama. Gerakan protes sebenarnya tidak perlu terjadi, bila saja para pengambil keputusan dalam hal ini Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memahami dinamika sosial politik dan akar budaya masyarakatnya. Kenaikan PBB yang melampaui batas kemampuan,dipandang melanggar harmoni dan mengancam kehidupannya. Bagi petani, tanah bukan hanya modal material tetapi mempunyai nilai spritual dan sakral.
Pada 18 Mei 2025, Bupati Pati– Sudewo, memimpin rapat bersama para Camat, Kepala Desa, dan anggota PASOPATI (Paguyuban Solidaritas Kepala Desa dan Perangkat Desa Kabupaten Pati) intensifikasi pendapatan daerah. Rapat memutuskan kenaikan tarif PBB‑P2 sebesar 250 persen dengan dalih selama 14 tahun belum ada kenaikan pajak. Pemicu aksi masa adalah pernyataan Bupati Pati yang tersebar dalam video ‘’Silakan lakukan, jangan hanya 5.000 orang, saya tidak akan mengubah keputusan’’. Pernyataan tersebut viral dan mendorong terbangunnya solidaritas secara masif, bukan saja warga Pati yang berdomisili di Pati tetapi juga Diaspora warga yang berada di perantauan. Soladaritas aksi diwujudkan melalui pengumpulan –air mineral, kueh kering, dan pisang dan buah lainnya– jumlah melimpah tergelar di depan Pendopo dan Gedung DPRD Kabupaten Pati.
Tanggal 13 Agustus 2025, pagi hari warga dari berbagai desa dan kota di Pati berkumpul di Alun-Alun dan Pendopo Kabupaten Pati. Massa membawa bendera merah putih, spanduk, dan meneriakkan slogan-slogan tuntutan seperti “Turunkan Bupati Sudewo.’’ Para demonstran menyampaikan tuntutannya melalui orasi terkait ‘’Pembatalan kenaikan PBB-P2, Pemunduran Bupati Sudewo dan Penolakan kebijakan lima hari sekolah, Renovasi Alun-alun, Pembongkaran Masjid, Proyek videotron, serta perekrutan kembali staf RSUD Soewondo’’. Pasar dan bisnis lokal tutup karena banyak pedagang bergabung dalam aksi. Puluhan ribu— hingga mendekati 85.000 hingga 100.000 orang—ikut hadir. Sementara aparat gabungan dari Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikerahkan, total sekitar 2.684 personel.
Menjelang siang hari, merupakan saat-saat menegangkan, demonstrasi memanas saat Bupati Sudewo belum juga muncul untuk menemui massa. Para demontran mulai melempar botol, batu, sayuran, dan berbagai benda ke arah Pendopo dan barisan Polisi. Ada pula upaya membongkar gerbang depan Kantor Bupati. Aparat mulai bertindak, Polisi menggunakan water cannon, gas air mata, dan granat asap untuk membubarkan massa. Banyak korban mengalami sesak napas, beruntung tidak terjadi bentrokan yang berarti, puluhan orang dirawat. Dua orang polisi dilaporkan terluka. Terdapat isu yang berhembus, adanya warga yang tewas, namun kordinator lapangan dengan sigap membantahnya.
Ditengah sengatan matahari dan kerusuhan yang ber-eskalasi, Bupati Sudewo akhirnya muncul, dari atas mobil Brimob didampingi Kajari dan Dandim untuk menyampaikan permintaan maaf. Namun permintaan maaf ini tidak meredam ketegangan dan massa tetap marah dan melempari Pendopo dan kendaraan yang ditumpanginya. Pasca-bentrokan, massa yang tersudut mundur dari area utama, beberapa kemudian berada di pinggiran seperti dekat sebuah gereja. Sejumlah kendaraan aparat dibakar, termasuk mobil patroli yang dibalik oleh massa. Aparat kembali menembakkan gas air mata untuk membubarkan. Gerakan Rakyat Pati, berujung pada keputusan DPRD, segera membentuk Pansus Hak Angket untuk menyelidiki kebijakan dan perilaku Bupati Sudewo. Hingga 14-15 Agustus 2025, Komnas HAM juga menindaklanjuti dengan investigasi dugaan penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat.
Respon Ormas Keagamaan dan Kemasyarakatan
Sejatinya, terdapat berbagai respon atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang disampaikan oleh masyarakat melalui Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Forsika (Forum Organisasi Sosial Keagamaan Pati) yang mencakup seluruh pimpinan Ormas Keagamaan di Pati. Selanjutnya, Majelis Daerah KAHMI Pati (Korps Alumni HMI) juga menyatakan keprihatinan menjelang aksi 13 Agustus. Mereka menegaskan perlunya komitmen terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat, sekaligus mengimbau agar penyampaian aspirasi dilakukan secara damai. KAHMI meminta Bupati Sudewo untuk melakukan introspeksi dan menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat karena kebijakannya telah menimbulkan keresahan publik.
Disamping Ormas Keagamaan, terdapat Ormas dan LSM menyayangkan bahwa pemerintah daerah tidak melakukan sosialisasi yang memadai kepada masyarakat terkait kenaikan tarif PBB-P2. Masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai alasan kenaikan tersebut. Semestinya, pemerintah melibatkan masyarakat dalam proses perumusan tarif, bukan hanya memberlakukan secara sepihak. Selanjutnya, Ormas dan LSM menilai kebijakan telah memberatkan masyarakat kecil, terutama bagi warga berpenghasilan rendah dan lansia yang tinggal di wilayah yang nilai tanahnya melonjak. Beberapa pihak menuding bahwa penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tidak dilakukan secara transparan dan tidak mencerminkan kondisi pasar nyata. Ormas dan LSM juga mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan kenaikan tersebut dan memberikan subsidi atau keringanan bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan.
Secara khusus, pihak Istana (Mensesneg Prasetyo Hadi mewakili Presiden Prabowo Subianto) menyayangkan atas terjadinya konflik yang timbul akibat kebijakan kenaikan PBB-P2. Pemerintah pusat menekankan pentingnya kehati-hatian pejabat publik dalam merumuskan kebijakan yang memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat. Melalui KompasTV, disampaikan bahwa Presiden “menyayangkan kisruh” tersebut dan menegaskan pentingnya sikap bijak pejabat dalam setiap kebijakan. Partai ,dimana Sudewo bernaung yaitu Gerindra juga memberikan teguran keras kepada Sudewo terkait dengan dugaan keterlibatan dalam penyelahgunaan Proyek DJKA, dan Sudewo mengembalikan uang Rp720 juta yang diduga terkait kasus tersebut.
Peta Sosial Politik Kabupaten Pati
Kabupaten Pati terletak di Pantai Utara Pulau Jawa, memiliki 21 kecamatan yang terdiri dari 401 desa dan 5 kelurahan. Perkiraan jumlah penduduknya pada tahun 2024 sebanyak 1.370.821 jiwa. Angka Kemiskinan mencapai 9,17 persen , setara dengan sekitar 116,840 jiwa. BPS Kabupaten Pati menyajikan data kasar lebih dari 60 persen penduduknya tergantung pada sektor pertanian dan perikanan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukan jumlah nelayan perikanan tanggap sekitar 20.472 orang. Data lain menyebutkan jumlah pengelola usaha perikanan budidaya sebanyak 8.713 orang dan perikanan tangkap sebanyak 3.403 orang, namun kemungkinan ini hanya mencakup pengelola usaha, bukan seluruh nelayan. Wilayah Pati terkenal sebagai salah satu lumbung pangan dan daerah penghasil ikan air tawar di Jawa Tengah, Kabupaten Pati dikenal dengan Bumi Mina-Tani.
Pati merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah yang memiliki akar budaya Jawa yang kental. Tradisi spiritual dan kepercayaan lokal sudah berkembang sejak zaman Hindu-Buddha dan terus bertahan bahkan setelah masuknya agama-agama besar seperti Islam dan Kristen. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) merupakan salah satu ormas Islam terbesar di daerah ini, aktif dalam pembinaan dakwah dan kegiatan sosial keagamaan. Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) — salah satu denominasi Kristen (Mennonite) yang memiliki basis di wilayah Pati, Kudus, dan Jepara yang memiliki banyak jemaat dan jaringan pendidikan di daerah tersebut. Terdapat pula, Forum Antar Umat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan (FAPSEDU). Organisasi lintas agama ini dibentuk oleh Dinas Sosial bersama Kemenag Kabupaten Pati untuk mendukung program keluarga berencana dan pembangunan kesejahteraan berbasis nilai keagamaan.
Masyarakat Pati cenderung masih memegang teguh nilai-nilai Kejawen — suatu bentuk spiritualitas Jawa yang menggabungkan unsur-unsur mistik, filsafat hidup, dan kepercayaan lokal. Terdapat aliran kepercayaan tradisional seperti: Sapta Darma (sekitar 2.572 penganut, memiliki organisasi resmi bernama Persada (Pramono Sejati) dengan jumlah penganutnya sekitar 175–356 orang, Roso Sejati (sekitar 325 anggota), dan beberapa lainnya. Maraknya aliran kepercayaan ini terlepas dari masih hidupnya Ajaran Samin. Disamping aliran kepercayaan di Pati, terdapat Organisasi keagamaan yang bercorak esoterik dan pendalaman bathiniyah yaitu Dhilal Berkat Rochmat Alloh (Dhibra) — organisasi thoriqat — di Kabupaten Pati. Organisasi ini cabang-cabangnya yakni Organisasi Shiddiqiyyah (Orshid), OPSHID (Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah) dan Jamiyyah Kautsaran Putri Hajarulloh Shiddiqiyyah (JKPHS). Dhibra dengan cabang-cabang di Pati menginisiasi kegiatan sosial seperti pembangunan rumah layak huni bagi warga kurang mampu. Kegiatan ini melibatkan para anggota thoriqatnya.
Pada tataran masyarakat, terdapat Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda yaitu Solidaritas Komunitas Pati (SOKO PATI) berdiri pada 28 Oktober 2023. Organisasi ini menjadi wadah silaturahmi untuk warga Kabupaten Pati dan Diaspora warga Pati yang tersebar di seluruh Nusantara. Fokusnya kegaiatanya diarahkan pada pelestarian budaya dan sejarah Pati, serta memfasilitasi sinergi dan kontrol sosial non-politik. Pada tataran pemerintahan, terdapat organisasi Persatuan Solidaritas Kepala Desa dan Perangkat Desa Kabupaten Pati (Pasopati) yang secara resmi berdiri 20 November 2021. Ormas ini merupakan wadah para kepala desa dan perangkat desa yang berperan dalam menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintah daerah. Pasopati juga berfungsi sebagai kontrol sosial atas kebijakan publik di tingkat lokal. (bersambung)
*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat, Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat
Editor: Jufri Alkatiri