Agustus, Bulan Jeritan Rakyat

Oleh: Renville Almatsier*

Merah-Putih bergayut kuyu di tiang pagar rumah saya. Setelah hampir sebulan berkibar, menjelang hari-hari mau diturunkan bendera itu tampak lemes. Sepertinya dia mengerti dengan perasaanku. Tadinya, saya menyambut bulan Agustus penuh semangat, tetapi apa yang terjadi sepanjang bulan ini membuat saya jadi galau, tidak bergairah.

Seperti biasanya, ketika  menyaksikan upacara bendera menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-80 di Istana Merdeka Jakarta —  lewat layar kaca, saya lagi-lagi tergugah. Melihat pasukan TNI yang gagah dan Paskibraka wakil remaja-remaja seluruh Indonesia, seolah menyaksikan representasi kesatuan dan masa depan cerah bangsa kita. Juga melihat Susilo Bambang Yudoyono  berdampingan dengan Joko Widodo,  dan  Ibu Nuriah Wahid. Ada pula anak-anak mantan Presiden dan wakil Presiden, Guntur, Halida, Titiek, Bambang Trihatmodjo, AHY duduk berjejer.

Namun mendung juga menyelimuti kondisi bangsa pada hari-hari sekitar perayaan proklamasi kali ini. Kebijakan Pemerintah yang menggalakkan pungutan pajak sungguh merisaukan. Pemerintah menyiapkan beragam strategi untuk mengejar target pendapatan negara. Agaknya inilah biang keroknya. Banyak pihak menilai bahwa menaikkan tarif pajak untuk menghimpun target penerimaan pajak yang tinggi pada  RAPBN  2026 akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang sudah tertekan. Bagaimana kami, rakyat kebanyakan, bisa hidup dengan biaya hidup yang tinggi?

Lalu terjadilah demo besar-besaran di Kota Pati , Jawa Tengah.  Disusul di berbagai kota termasuk di depan Gedung DPR di Jakarta. Barangkali itu titik puncak hilangnya kesabaran rakyat. Tidak salah kalau rakyat kebanyakan membandingkannya dengan keadaan sekeliling. Begitu banyak kekayaan negara dinikmati oleh segelintir koruptor.

Di sisi lain, untuk menggaji 580 anggota DPR negara enteng saja mengeluarkan dana sebesar Rp 1,6 triliun. Gaji wakil rakyat, baik yang sering  muncul di media, maupun yang tidak pernah bersuara dan cuma diam mengisi daftar absen, besarnya Rp 230 juta.  Nilai itu berarti 42 kali lipat dari upah minimum Jakarta yang Rp 5,39 juta per bulan. Menurut hitungan Litbang Kompas, itu  sama dengan 35,4 kali lipat pendapatan  per kapita warga Indonesia yang besarnya Rp 6,5 juta per bulan.

Ketika ada berita harga beras di pasar mau naik…eh tau-tau tunjangan beras untuk anggota DPR ikut pula naik jadi Rp 200.000 per bulan. Ada lagi kabar di luar, semua anggota DPR akan mendapat  tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan. Tunjangan perumahan yang total bernilai Rp 1,74 triliun itu setara dengan gaji 36.000 guru dalam setahun (dengan asumsi guru menerima Rp 4 juta per bulan), Uang segitu bagi guru merupakan sumber dana untuk menyekolahkan anak dan mengontrak  rumah mereka.

Makanya saya sangat bisa mengerti kehidupan tukang sapu jalan, seperti diceritakan Kompas (23/8/2025) — yang berpenghasilan Rp 1.300.000 per bulan dengan istri dan empat anak. Dia dibantu istri yang memulung botol plastik dan bisa memberi tambahan Rp 1 juta sebulan. Buat saya sendiri yang pensiunan, hal ini juga berdampak tergerusnya  tabungan yang sudah menipis.

Meskipun memiliki mobil, saya lebih sering naik kendaraan umum. Selain  menghemat biaya BBM — juga partisipasi saya mengurangi kemacetan — namun begitu, saya komplen juga ketika ongkos gojek ikut naik. Untuk jarak dari rumah ke stasiun MRT terdekat sudah naik Rp 7.500 dibanding tahun lalu. Begitupun ongkos angkot yang dulu Rp 2.000 — kini naik jadi Rp 5.000 untuk jarak yang itu-itu juga. Tanggal  22 Agustus lalu pemohonan potongan PBB saya diluluskan oleh Bapenda Tangsel tetapi cuma sebesar  Rp 176.075.

Saya tidak bermaksud memelas dengan persoalan saya, tetapi rasanya ini juga keluhan sebagian besar rakyat kita. Bagaimanapun dengan berjalannya waktu, hati saya was-was apa yang akan terjadi pada kehidupan saya, juga masa depan anak-anak saya.

Mau tidak mau kita terpaksa membandingkan diri dengan wakil-wakil rakyat. Saya ingat, ketika masih kecil seorang abang saya pernah mendoktrin saya, katanya “kalau mau kaya, kamu harus jadi pedagang,  politikus, atau… maling!”.  Waktu itu saya belum paham benar apa maksudnya. Saya tidak berbakat bisnis apalagi politik. Bayangan saya seperti ayah yang jadi guru, saya mau jadi profesional saja.

Doeloe yang dimaksud maling itu adalah pencuri yang masuk ke rumah malam-malam, mengambil barang kita. Tetapi sekarang, maling juga sebutan bagi mereka yang keren seperti Zarof Zicar atau Immanuel Ebenezer…dengan berkilo-kilo emas batangan, tumpukan duit setebal kasur dan puluhan mobil mewah serta motor gede.

Sementara itu beberapa koruptor top bisa keluar penjara setelah menjalani sebagian waktu hukumannya. Di luar menanti beberapa kakap lagi….termasuk ada tiga hakim yang berkolaborasi dengan para penggerus uang rakyat ini. Apakah mereka juga hanya akan menyicipi penjara sebentar saja? Kita, rakyat harus sabar saja menonton kiprah para pejabat, dan tau diri, minggir kalau sirene mobil mereka lewat. Atau, ikut bertepuk tangan melihat mereka berjoged-ria?? (*)

*Mantan Wartawan Majalah Berita Mingguan Tempo dan Pengamat Sosial

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *