Oleh: Kurniawan Zulkarnain*
Ditengah benang kusut melanda dunia pendidikan kita, publik disuguhi berita penetapan Nadiem Anwar Makarim mantan Mendikbudristek sebagai tersangka pengadaan laptop Chromebook oleh Kejaksaan Agung (Detiknews,4/9/2025). Aromanya sudah lama berhembus. Peristiwa ini, seolah membuka kotak pandora tentang problem yang melanda dunia pendidkan kita. Di satu sisi,banyak anak-anak kita di daerah terpencil, kerap berjudi dengan maut untuk dapat menjangkau sekolahnya yang terhalang sungai, karena nir-jembatan. Di sisi lain, penghamburan anggaran yang melimpah ,sekaligus mengkonfrmasi betapa tersesatnya perjalanan pendidikan kita.
Siapa sejatinya sosok Nadiem Anwar Makarim itu? Dia lahir di Singapura pada 4 Juli 1984. Ayahnya, Nono Anwar Makarim seorang pengacara senior Indonesia, pendiri firma hukum Nono Anwar Makarim & Partners dan juga aktif menulis, dikenal sebagai intelektual hukum dan pernah menjadi anggota Tim Reformasi Hukum pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan menjadi komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ibunya, Atika Algadrie seorang yang berdarah Arab–Minangkabau — putri dari tokoh nasional dan diplomat serta pejuang kemerdekaan bernama Hamid Algadrie. Atika aktif dalam bidang sosial dan bisnis keluarga. Pada tahun 2023, ikut mendirikan Bung Hatta Anti-Coruption Award (BHACA).
Nadiem,seorang anak yang sangat beruntung ,dibesarkan pada lingkungan pendidikan yang bukan kaleng-kaleng. Pendidikan SMA ditempuh di United World College of Southeast Asia, Singapura. Strata-1 diraihnya di International Relations, Brown University, AS (2006). Strata-2 Master of Bussiness Administration (MBA) diraih di Harvard Business School-Amerika Serikat (lulus sekitar 2011) — sebuah kampus yang sangat prestisius ditingkat global. Kampusnya bagai di negeri awan yang mustahil dapat dijangkau oleh kebanyakan anak bangsa dari negara-negara berkembang, termasuk anak-anak Indonesia.
Karier Profesional dan Politik
Dengan jalur pendidikan yang semoncer itu, tidak mengherankan bila Nadiem dapat meniti karier profesionalnya dengan mulus pada sejumlah perusahaan kelas dunia. Setelah lulus, Nadiem bergabung dengan McKinsey & Company— sebuah konsultan manajemen yang berbasis Chicago-Amerika Serikat selama 3 tahun. Tahun 2011-2012, karier professional dilanjutkan di Zalora Indonesia–perusahaan e-comerce yang beroperasi di beberapa di Asia Tenggara. Nadiem kemudian pindah di perusahaan Kartuku, sebagai Chief Innovation Officer (2013–2014). Perusahaan ini bergerak pada layanan pembayaran servise (payment service provider) yang berbasis di Indonesia.
Dengan bekal pengalaman dipelbagai perusahaan kelas dunia. Pada 2010, Nadiem mendirikan Gojek —sebuah nama yang tidak asing ditelinga kita. Gojek adalah Perusahaan teknologi yang menyediakan layanan berbasis aplikasi, terutama di bidang transfortasi online, pesan-antar makanan,pembayaran digital dan layanan on-demand lainnya. Tahun 2019 menjadi decacorn –start-up yang sudah maju– (valuasi > USD10 Milyar setara dengan 165 trilyun) pada tahun 2011, Gojek merger dengan Tokopedia membentuk GoTo Group (salah satu perusahaan teknologi terbesar di Asia Tenggara).
Nadiem resmi dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada 23 Oktober 2019 dalam Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo periode 2019–2024. Pada April 2021, melalui perombakan kabinet, Kementeriannya digabung dengan Kementerian Riset dan Teknologi sehingga menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), dan Nadiem tetap menjabat sebagai menterinya.
Alasan pengangkatan Nadiem Anwar Makarim sebagai Mendikbudristek, tampaknya karena memiliki latar belakang inovatif dan teknologi sebagai pendiri Gojek, salah satu perusahaan teknologi terbesar di Asia Tenggara. Nadiem diharapkan dapat mendorong pendidikan Indonesia lebih adaptif, fleksibel, dan berorientasi pada kompetensi dan pengalaman. Alasan lainnya, Nadiem dinilai mampu melakukan penyesesuaian sistem pendidikan dengan era digital dan kebutuhan industri masa depan. Disamping itu, Nadiem dianggap membawa perspektif baru, lebih segar, dan dekat dengan dunia anak muda—Generasi Z (Genzi).
Masalah Pendidikan Kita
Banyak masalah yang harus segera dibenahi dalam pendidikan kita, salah satunya adalah terkait dengan pemerataan pendidikan yang masih terhalang oleh lemahnya infrrastruktur. Banyak anak kesulitan mengakses pendidikan karena jarak jauh, minimnya sekolah, atau infrastruktur yang lemah — siswa harus menyeberangi sungai atau jembatan tidak layak untuk ke sekolah. Ketimpangan akses antara daerah maju dan terpencil, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Papua masih tinggi. Selama pandemi COVID-19, ketimpangan ini semakin terasa : hanya sekitar 60 persen siswa memiliki akses internet, dan banyak sekolah tidak memiliki listrik atau koneksi digital memadai.
Masalah yang seolah menggantung adalah masalah yang terkait dengan kualitas pendidikan kita, hasil studi internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa siswa Indonesia berkinerja rendah dalam matematika dan sains. Indonesia berada pada peringkat 70 dari 81 negara peserta yang diukur. PISA dilakukan untuk mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun dalam membaca,matematika dan sains dengan cara membandingkan satu negara dengan negara lainnya. Studi tersebut menunjukkan bahwa skor Indonesia pada tahun 2022, termasuk terendah sepanjang keikutsertaan sejak tahun 2001.
Angka penangguran di Indonesia, per- Agustus 2024 tercatat sekitar 7,47 juta orang (BPS), jumlah yang cukup besar. Yang menjadi pertanyaan, mengapa kurikulum pendidikan kita lemah relevansinya dengan dunia nyata yang kita hadapi? Kurikulum belum menyesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja dan perkembangan global/teknologi. Lulusan pendidikan kita, seringkali tidak siap memasuki pasar kerja.
Kurikulum terlalu padat sehingga menciptakan tekanan, menurunkan motivasi dan minat belajar siswa. Metode belajar cenderung konvensional, berpusat pada guru, dan kurang variatif, menjadikan proses belajar membosankan. Kurikulum hanya dipandang dari kacamata Jakarta, padahal banyak daerah memiliki potensi dan kebutuhannya masing-masing.
Masalah strategis lainnya yang sedang antri untuk dibenahi adalah tata kelola pendidikan: mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan belum optimal. Pemberian insentif (reward/punishment) masih subjektif. Ketidak-efisienan sistem tampak dari penggunaan sumber daya pendidikan yang belum maksimal. Praktik korupsi dalam pendidikan—seperti penyimpangan anggaran, proyek fiktif, dan pengadaan infrastruktur yang tak tepat—mengurangi efektivitas dana pendidikan. Termasuk tantangan kesejahteraan guru masih menjadi tantangan, terutama di sekolah swasta atau daerah terpencil: banyak guru honorer belum mendapat tunjangan layak dan mendapat pelatihan yang memadai untuk dapat mendidik dengan kualitas yang baik.
Kebijakan Kontroversial Nadiem
Nadiem, menetapkan kebijakan penghapusan ujian nasional (UN) diganti dengan diganti dengan Asesmen Nasional (AN) yang menekankan literasi, numerasi, dan survei karakter. Kebijakan ini telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat terurama di komunitas pendidikan. Dipuji karena lebih menekankan kompetensi daripada hafalan. Dikritik karena dianggap “terlalu cepat” diterapkan tanpa kesiapan sekolah di daerah. Sebagian guru dan orang tua menilai penghapusan UN menurunkan standar nasional pendidikan.
Kebijakan lainnya yang diambil Nadiem adalah program Merdeka Belajar- Kampus Merdeka. Kebijakannya: mahasiswa diberi kebebasan belajar di luar prodi (magang, penelitian, proyek sosial, dll.) hingga 3 Semester. Kontroversi yang terjadi, mendapat dukungan dari kampus-kampus besar. Namun banyak perguruan tinggi daerah kesulitan menyiapkan kurikulum, dosen, dan mitra industri. Beberapa dosen menilai beban administrasi bertambah dan tidak sesuai dengan realita SDM kampus kecil. Pada tingkat pendidikan dasar (SD,SLT dan SLTA), banyak guru merasa bingung karena minim pelatihan, apalagi di sekolah terpencil. Dikhawatirkan menciptakan kesenjangan antara sekolah unggulan dan sekolah pinggiran semakin melebar.
Kebijakan lainnya lagi yang memicu krontroversi terkait dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana BOS digunakan lebih fleksibel bahkan dapat dibelanjakan membayar guru honorer. Sisi positifnya dapat membantu sekolah di daerah yang kekurangan guru. Sisi negatifnya, dipandang sebagai kebijakan tambal sulam yang justru memperkuat ketergantungan pada guru honorer murah. Masalah transparansi laporan penggunaan dana terabaikan dan jadi sorotan, yang dapat membuat peluang terjadinya penyalah-gunaan anggaran.
Nadiem juga, mengambil kebijakan yang sensitif terkait dengan pelarangan wajib Jilbab di Sekolah Negeri. Sekolah negeri dilarang mewajibkan atau melarang atribut agama, termasuk pemakaian Jilbab. Kebijakan ini mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada yang memandang langkah tersebut untuk menjaga dan memelihara kebebasan beragama dan hak individu. Namun,terdapat juga yang mengkritik dari sebagian kelompok keagamaan yang menilai kebijakan ini mengikis budaya religius sekolah. Kasus pemaksaan pemakaian Jilbab di Padang menjadi pemicu lahirnya kebijakan ini.
Tanggapan Terhadap Penetapan Nadiem sebagai Tersangka
Sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menenengah, Prof.Abdul Mu’ti menyampaikan apresiasi terhadap langkah Kejaksaan Agung yang menunjukkan komitmen untuk menegakkan hukum secara adil. Namun, dia juga mengingatkan agar masyarakat menghormati prinsip asas praduga tidak bersalah. Prof.Mu’ti menekankan bahwa semua otoritas dalam proses ini berada di tangan kejaksaan, dan menyerahkan sepenuhnynya penanganan kasus kepada lembaga tersebut (detiknew, 5/9/2025).
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Prof. Rhenald Kasali menyampaikan kritik pedas dan menyebut bahwa korupsi—terutama dalam sektor pendidikan—tidak bisa dimaafkan, karena dampaknya sangat serius dan bisa menimbulkan apa yang disebut sebagai lost generation. Kasali menyesalkan bahwa program Chromebook ini dicetuskan oleh sosok dari luar dunia pendidikan, tanpa memahami kompleksitas kebutuhan dan kondisi riil sektor pendidikan. Menurut Kasali, Nadiem sudah terlibat dalam perencanaan program instan sejak sebelum dilantik sebagai Menteri, dan pelaksanaannya terlanjur ngegas tanpa tata kelola yang matang (Roml.id 4/9/2025).
Meskipun kritik Yusuf Kalla disampaikan sebelum Nadiem menjadi tersangka (Tempo,9/9/2024). JK menyampaikan bahwa Nadiem jarang ke kantor dan tidak pernah melakukan kunjungan ke daerah, padahal jabatan Mendikbudristek memiliki cakupan yang sangat luas. JK juga membandingkan Nadiem dengan tokoh-tokoh pendidikan terdahulu seperti Ki Hajar Dewantara, Soemantri, Syarief Thayeb, Daoed Joesoef, Fuad Hassan, serta Anies Baswedan — mereka memiliki pendidikan dan pengalaman yang mumpuni. JK menilai bahwa meski Nadiem sukses sebagai CEO Gojek, pengalaman tersebut tidak serta-merta dapat mentransformasikannya menjadi pemimpin ideal untuk Kementerian Pendidikan.
Kantor Berita Associated Press (4/9/2025) melaporkan bahwa saat dibawa keluar dari kantor Kejaksaan Agung dalam keadaan mengenakan rompi tahanan dan diborgol, Nadiem menyatakan: I didn’t do anything. The truth will come out. God will reveal the truth! For me, throughout my life, integrity is number one, honesty is number one. May God protect me. Reuters juga mengutip pernyataan serupa I did not do anything. God will protect me, the truth will come out, Kompas TV (4/9/2025) menyampaikan versi dalam Bahasa Indonesia “Saya tidak melakukan apa pun. Tuhan akan melindungi saya, kebenaran akan keluar. Allah akan mengetahui kebenaran. Bagi saya seumur hidup saya integritas nomor satu, kejujuran adalah nomor satu. Allah akan melindungi saya, Insya Allah.”
Nadiem Anwar Makarim, terlahir dari keluarga terpandang dan seorang cucu pejuang Kemerdekaan terhormat. Nadiem, penyandang penghargaan dari Nikkei Asia Prize untuk inovasi ekonomi dan bisnis (2019) — donasi hadiah untuk beasiswa anak mitra Gojek . Perusahaan Gojek yang dibidani Nadiem mendapat penghargaan dari Fortune sebagai salah satu perusahaan yang mengubah dunia. Ada pepatah the right on the right place — orang baik pada tempat yang tepat– atau the right man on the wrong place — orang baik pada tempat yang salah—berlaku bagi Nadiem Makarim. Daripada berandai-andai,sebaiknya kita serahkan pada proses hukum. Wallahu ‘Alam Bisowab. (*)
*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat
Editor: Jufri Alkatiri