Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Awal mula keberadaan semesta adalah sebuah tindakan rahmat dan kasih-sayang. Tanpa rahmat (cinta) dan kasih-sayang, alam semesta akan kacau. Segala sesuatu telah ada melalui rahmat dan dengan cinta, dia terus ada dalam harmoni.
Seluruh kitab suci (taurat, zabur, injil, dan al-Qur’an) jika dipadatkan adalah al-fatehah. Al-fatehah jika dipadatkan adalah ar-Rahman ar-Rahim yang berasal dari satu akar kata yaiytu Rahmat yang maknanya adalah Cinta, maka dalam tradisi intelektual (Tasawuf) agama Islam ini disebut agama cinta. Maka melalui rahmat-Nya — Ruang Sakral memungkinkan terbentuknya semesta: di mana yang maha sakral mewujud dalam ruang, yang nyata menyingkapkan dirinya, dunia pun terwujud.
Tuhan menciptakan dunia sebagai panggung tempat nama-nama-Nya terwujud atau mengejawantahnya asma dan sifat. Dia memperkenalkan diri-Nya, pertama-tama, sebagai Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang. Umat Muslim lazim mengucapkan dengan Nama Tuhan, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, sebelum melakukan kebaikan apa-pun.
Keberlangsungan dunia juga melalui nama, Yang Maha Penyayang. Nama ini memanifestasikan dirinya, pertama-tama, sebagai Maha Pemberi rezeki untuk menjamin kelangsungan hidup makhluk hidup melalui makanan atau nutrisi. Selain itu, hidup adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang paling utama dan paling nyata, dan hidup yang sejati dan abadi adalah kehidupan akhirat. Karena manusia dapat memperoleh kehidupan ini dengan berbuat untuk menyenangkan Tuhan, Tuhan mengutus para Nabi dan menurunkan Kitab Suci sebagai bentuk rahmat-Nya bagi umat manusia.
Karena alasan ini, ketika menyebutkan nikmat-Nya atas umat manusia dalam surah al-Rahman (Maha Penyayang) di dalam Al-Qur’an, Dia memulai: Al-Rahman (Maha Penyayang). Dia mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia. Dia mengajarinya berbicara. (al-Rahman, 55:1-4)
Segala aspek kehidupan ini adalah latihan untuk akhirat dan setiap makhluk terlibat dalam tindakan untuk tujuan ini. Dalam setiap upaya, keteraturan tampak jelas dan dalam setiap pencapaian, terdapat rasa kasih sayang.
Beberapa peristiwa “alamiah” atau gejolak sosial dalam tatanan manusia yang tampak tidak menyenangkan bagi manusia pada pandangan pertama tidak boleh dianggap tidak sesuai dengan rasa kasih sayang. Peristiwa-peristiwa itu seperti awan gelap atau kilat dan guntur, yang, meskipun menakutkan bagi manusia, membawa kabar baik akan datangnya hujan. Dengan demikian, seluruh alam semesta, dari partikel terkecil hingga galaksi raksasa, menyanyikan pujian kepada Yang Maha Pengasih.
Alam semesta, dalam bahasa para cendekiawan Muslim, adalah kitab ciptaan Tuhan yang diturunkan dari Sifat Kehendak-Nya. Menulis kitab yang tidak seorang pun dapat memahaminya akan menjadi usaha yang sia-sia, dan Tuhan sepenuhnya berada di luar kesia-siaan tersebut. Maka, Dia menciptakan Muhammad (saw), seseorang yang akan mengajari manusia tentang makna alam semesta. Kedua, Dia mengajarkan manusia perintah-perintah-Nya melalui Muhammad dalam Al-Qur’an. Hanya dengan bertindak sesuai dengan Perintah-perintah ini, manusia dapat memperoleh kehidupan abadi yang bahagia.
Al-Qur’an adalah bentuk Wahyu Ilahi yang paling utama dan paling komprehensif, Islam adalah bentuk Agama Ilahi yang terakhir, sempurna, dan universal, dan Nabi Muhammad (saw), adalah perwujudan Kasih Sayang Ilahi, seseorang yang diutus Tuhan semata-mata sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Nabi Muhammad (saw) bagaikan mata air murni di tengah padang gurun, atau bagaikan sumber cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti alam semesta. Siapa pun yang berobat datang ke mata air dia dapat meneguk-meminum air sebanyak yang dibutuhkan untuk menghilangkan dahaganya dan disucikan dari segala kotoran atau polusi, spiritual maupun intelektual, serta diterangi dengan cahaya iman.
Cinta bagaikan kunci ajaib di tangan Nabi Muhammad, utusan terakhir Allah Swt. Dengan kunci rahmat ini, beliau membuka pintu-pintu hati yang begitu keras dan berkarat sehingga orang mengira mustahil untuk membukanya, dan menyalakan obor iman di dalamnya.
Rasulullah Saw dengan cinta mendakwahkan Islam, agama cinta-rahmat universal
Meskipun demikian, beberapa orang mengatasnamakan humanisme menuduh Islam sebagai “agama pedang” — namun, ini hanyalah isapan jempol belaka. Mereka yang mengaku humanisme tampak dengan meratapi hewan yang dibunuh di suatu belahan dunia atau bersuara keras setiap kali salah satu dari mereka disakiti, tetapi mereka tidak peduli ketika terjadi genocide pembunuhan masal di Gaza dan Palestina. Dunia mereka dibangun di atas kepentingan pribadi. Perlu ditekankan bahwa penyalahgunaan rasa welas asih sama berbahayanya, dan terkadang lebih berbahaya, daripada tidak memiliki welas asih sama sekali.
Amputasi anggota tubuh yang membusuk merupakan tindakan welas asih terhadap seluruh tubuh. Demikian pula, oksigen dan hidrogen, yang dicampur dalam rasio yang tepat, membentuk salah satu zat yang paling vital. Namun, ketika rasio ini berubah, setiap unsur kembali ke identitas aslinya yang mudah terbakar. Demikian pula, sangat penting untuk membagi jumlah welas asih dan mengidentifikasi siapa yang pantas mendapatkannya.
“Belas kasih kepada Serigala mempertajam nafsu makannya, dan karena tidak puas dengan apa yang diterimanya, dia menuntut lebih banyak lagi. ”Belas kasih kepada seorang pemberontak membuatnya lebih agresif, mendorongnya untuk berbuat jahat terhadap orang lain. Belas kasih justru mengharuskan seseorang untuk dicegah dari berbuat jahat.
Rasulullah Saw. bersabda: Bantulah saudaramu, baik dia adil maupun zalim._ Para sahabat bertanya: “Bagaimana kami akan membantu saudara kami yang dzalim?” Beliau menjawab: “Kalian membantunya dengan mencegahnya berbuat dzalim.” Maka, belas kasih juga mengharuskan mereka yang senang meracuni seperti ular harus dijauhkan dari racunnya atau dicegah dari meracuni. Jika tidak, pemerintahan dunia akan diserahkan kepada racun “kobra”, yakni sebuah pemerintahan dunia yang toxic. (Bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri