Renungan Malem Jemuwah: Ilmu Kalam (bag-1)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

Iftitah : Ilmu Kalam memiliki beberapa terminologi, antara lain Ilmu Usuluddin (Ilmu yang mempelajari tentang pokok-pokok agama), Ilmu Tauhid (Ilmu yang mempelajari keesaan Allah), Ilmu Aqidah (membahas dasar-dasar keimanan dan pokok-pokok keyakinan dalam agama Islam), Fiqh Al-akbar (Pemahaman tentang agama), dan Teologi Islam. Dalam cakupan ilmu yang disepakati oleh para ulama bahwa Ilmu Kalam  dasar  fondamentalnya adalah al-Qur‘an dan al-Hadits.

1.Ilmu Kalam; Merupakan ilmu yang obyek kajian nya adalah  Ketuhanan dan segala hal yang berkaitan dengan-Nya, dengan menggunakan pendekatan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agamanya. Sehingga pada dasarnya ilmu kalam menggunakan metode dialektika (jadaliyah) atau dikenal juga dengan dialog keagamaan;

2.Ilmu Tasawuf; adalah ilmu dengan objek kajian tentang ketuhanan dan upaya-upaya pendekatan keapda-Nya dengan lebih menekankan rasa dari pada rasio. Sebagai ilmu laku atau melatih rasa (riyadhah) yang dalam prosesnya diperoleh melalui rasa, ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering nampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Karena pengalaman rasa sangat sulit dibahasakan atau diverbalkan;

3.Filsafat; sebagai sebuah ilmu dengan objek kajian Ketuhanan, di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Dengan menggunakan Pendekatan Metode Rasional yakni menggunakan Akal atau Logika sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran rasional. Oleh karenanya filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar), integeral (menyeluruh) serta universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika.

Konstruksi dan sistematika pemikiran kalam klasik dibangun dalam suasana dan juga sebagai respon langsung terhadap peristiwa politik saat itu, yakni; tentang posisi orang yang berdosa besar, seperti para pembunuh Khalifah Usman, konflik politik Ali dan Mu‘awiyah yang terlibat dalam perang Siffin dan terjadi Tahkim (Arbitrase), serta peristiwa Talhah, Zubair, dan Aisyah yang memberontak kepada khalifah Ali dalam parang Jamal.

Sehingga dalam perjalanan selanjutnya wacana pemikiran kalam klasik itu kemudian diramu dengan bahan-bahan yang berasal dari filsafat Yunani, sehingga menimbulkaan pemikiran Kalam yang semula berwatak metafisik-normatif yaitu; pendekatan yang menerapkan prinsip-prinsip normatif (standar kebenaran, kesalahan, atau kelayakan) pada Fenomena Metafisik (hakikat keberadaan, realitas, dan alam semesta) atau sebaliknya, yaitu menggunakan konsep-konsep metafisik untuk memahami dan menjelaskan ranah normative); kemudian bertambah menjadi berwatak deduktif-spekulatif yaitu merujuk pada proses berpikir yang dimulai dari prinsip-prinsip umum (deduktif) untuk membangun sebuah hipotesis atau konsep yang belum pasti atau belum ada saat ini (spekulatif) dan secara keseluruhannya, pemikiran kalam klasik hanya berorientasi teosentris.

Dengan wataknya yang bersifat metafisik-normatif dan deduktif-spekulaitif, serta berorientasi pada Dimensi Teosentris semata, maka tidak mengherankan bila pemikiran Kalam klasik kurang atau bahkan tidak memiliki kepekaan terhadap persoalan-persoalan sosial umat dan pesoalan kemanusian universal. (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *