Oleh: Kurniawan Zulkarnain*
Di tengah derasnya arus globalisasi dan hiruk pikuk dunia digital, kita sering lupa menoleh ke cermin bangsa sendiri. Kita bangga dengan angka, tetapi miskin makna. Di balik kemajuan ekonomi dan pembangunan fisik, pertanyaan paling sederhana kadang justru paling menyakitkan, masihkah kita menjadi manusia Indonesia seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara?
Tokoh yang lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 ini bukan sekadar pendiri sekolah — melainkan pendiri kesadaran. Melalui Perguruan Taman Siswa yang berdiri pada 3 Juli 1922, Ki Hajar tidak sedang menciptakan sistem belajar, dia sedang memerdekakan pikiran bangsanya. Dia ingin agar rakyat yang tertindas belajar berdiri, berpikir, dan bertindak atas dasar nalar serta nurani.
Prinsipnya yang abadi, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani,” bukan sekadar semboyan di dinding sekolah. Dia adalah panduan moral untuk setiap pemimpin, pengajar, dan manusia Indonesia yang ingin menuntun, bukan menindas, yang ingin menghidupkan semangat, bukan mematikan daya pikir membangun prakarsa.
Pendidikan yang Memerdekakan
Bagi Ki Hajar, pendidikan sejati bukanlah soal angka, bukan juga soal ijazah. Pendidikan adalah proses memerdekakan manusia, lahir, dan batin. Manusia yang merdeka, katanya, adalah yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, mengatur hidupnya dengan pikiran jernih dan hati yang bersih, tanpa bergantung pada orang lain. Namun, di negeri yang sudah lebih dari tujuh dekade merdeka, banyak pikiran masih dijajah oleh ketakutan. Pendidikan kita sering menuntut kepatuhan, bukan keberanian berpikir. Kurikulum boleh berubah, tapi semangatnya sering tetap sama, menilai angka lebih tinggi daripada nurani.
Fenomena bocoran soal ujian yang viral, jual-beli skripsi online, atau guru yang dihukum karena berpikir kritis adalah ironi yang mungkin membuat Ki Hajar gelisah di alam sana.Kebiasaan menggunakan bocoran akan mengarahkan pada perbuatan tercela dan melanggar etika dan hukum.
Manusia Indonesia yang Dicita-citakan
Manusia Indonesia menurut Ki Hajar Dewantara bukan sekadar yang cerdas di kepala, tetapi juga berkarakter di hati. Dia manusia yang berpikir maju tanpa kehilangan rasa, yang bebas dari kebodohan tanpa kehilangan kesantunan, yang berani berkata benar tanpa kehilangan kasih sayang. Namun, di tengah dunia yang dikuasai oleh Algoritma dan Pragmatisme, cita-cita itu terasa semakin jauh. Di Zaman ketika banyak orang menilai sukses dari saldo, bukan makna, gagasan Ki Hajar seperti oasis yang kian langka.
Data UNESCO tahun 2022 menunjukkan tingkat melek huruf orang dewasa Indonesia telah mencapai 96 persen dan di kalangan pemuda bahkan hampir 100 persen, namun, riset yang sama mengungkapkan ironi besar, hanya 0,001 persen masyarakat Indonesia yang benar-benar gemar membaca.
Kita bisa membaca, tetapi enggan merenung. Kita punya literasi, tetapi kehilangan kebijaksanaan. Di perguruan tinggi, rasio dosen dan mahasiswa mencapai 1 banding 57 pada 2023, menggambarkan bagaimana pendidikan kita sibuk mengejar kuantitas, tapi kehilangan keintiman. Ki Hajar mengajarkan bahwa pendidikan sejati adalah hubungan antara guru dan murid, antara hati dan hati, bukan sekadar antara data dan sistem.
Angka penyelesaian sekolah dasar bahkan mencapai 101,9 persen menandakan hampir semua anak menamatkan pendidikan dasar. Tapi, menamatkan bukan berarti memahami. Menyelesaikan bukan berarti tercerahkan.
Pendidikan yang Memanusiakan
Ki Hajar Dewantara percaya, tujuan pendidikan bukan mencetak manusia pandai, tapi manusia yang memanusiakan. Dia menulis, “Setinggi-tingginya ilmu, semurni-murninya hati, sepintar-pintarnya akal, tidak akan ada artinya bila tidak untuk kepentingan kemanusiaan.”
Dan kini, di negeri yang katanya menjunjung pendidikan, banyak siswa tertekan oleh sistem. Mereka berlomba menghafal, bukan memahami. Mereka takut salah, bukan berani bertanya. Mereka sibuk mencari nilai, bukan makna.
Gedung sekolah memang megah, aplikasi belajar bertebaran, beasiswa melimpah, tapi di ruang kelas, masih ada anak yang belajar di bawah atap bocor, guru yang digaji di bawah standar, dan siswa yang kehilangan semangat karena merasa hanya angka yang dihargai.
Menjadi Manusia Indonesia di Zaman Kini
Menjadi manusia Indonesia hari ini adalah perjuangan sunyi di tengah bisingnya zaman.Ditengah banjir informasi dan hiruk pikuk opini, menjadi manusia yang merdeka seperti yang diimpikan Ki Hajar berarti berani berpikir sendiri, jujur pada nurani, dan teguh pada nilai.
Kita butuh lebih banyak keteladanan, bukan hanya ceramah. Lebih banyak Empati, bukan hanya teori. Karena pendidikan bukan hanya soal sekolah, tetapi soal kesadaran, bahwa menjadi manusia adalah pekerjaan seumur hidup.
Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa manusia Indonesia sejati adalah manusia yang menjadi dirinya sendiri, sambil tetap menghormati yang lain.Yang merdeka pikirannya, mandiri tindakannya, dan berjiwa sosial dalam pengabdiannya.Bukan manusia yang hanya pandai meniru, tetapi berani menumbuhkan akar sendiri. Sebab bangsa yang besar tidak dibangun oleh gedung tinggi atau angka ekonomi semata, melainkan oleh manusia yang merdeka, lahir dan batin. Wallahu ‘Alam Bi Sowab.
*Pencinta Ilmu Pengetahuan
Editor: Jufri Alkatiri
