Kerusakan Moral Mental Pejabat di Indonesia: Jejak Panjang dari Penghianatan Awal

Oleh: Benz Jono Hartono*

Bangsa yang lahir dari perjuangan spiritual, seharusnya tumbuh dengan jiwa yang suci — namun sejarah Indonesia justru mencatat ironi: negeri yang dibangun atas darah dan doa para pejuang beriman, perlahan berubah menjadi panggung di mana kekuasaan lebih dihormati daripada kejujuran, dan kemunafikan dijadikan strategi bertahan hidup.

Kerusakan moral pejabat bukanlah peristiwa tunggal — dia adalah warisan sejarah, sebuah pola yang berakar sejak masa awal kemerdekaan. Saat itu, idealisme dan iman para pejuang diuji oleh kompromi politik yang rumit—antara kepentingan duniawi dan nilai ilahi. Dalam pusaran itulah lahir generasi pemimpin yang mulai belajar satu hal berbahaya: “bahwa kekuasaan bisa dipertahankan dengan mengorbankan prinsip.”

Akar Historis: Ketika Agama Dikesampingkan dari Negara

Setelah proklamasi, bangsa ini tidak sekadar berdebat tentang bentuk pemerintahan, tetapi juga tentang ruh moral yang akan menjadi pondasi negara. Dalam perdebatan itulah, sebagian pemimpin memilih jalan kompromi—menghapus janji moral yang semestinya menjadi arah spiritual bangsa. Keputusan itu, betapapun dianggap politis, meninggalkan luka dalam: “umat yang pernah menjadi tulang punggung perjuangan merasa disisihkan dari rumah yang mereka bangun sendiri.”

Dari situlah moral pejabat mulai retak. Sebab ketika agama dipisahkan dari politik, politik kehilangan hati nurani, dan ketika kekuasaan berdiri tanpa moral, maka yang tersisa hanyalah perebutan kursi tanpa makna. Budaya Kekuasaan: Dari Pelayan Rakyat Menjadi Penguasa Rakyat.

Pascakemerdekaan, jabatan bukan lagi amanah, melainkan alat mempertahankan pengaruh. Kita menyaksikan transformasi halus tteapi mematikan: pejabat bukan lagi abdi negara, melainkan tuan atas negara. Mereka bicara tentang pelayanan publik, tetapi gaya hidup mereka menunjukkan hal sebaliknya—gedung tinggi dibangun di atas janji yang hancur.

Dari masa ke masa, sistem politik yang lahir dari kompromi moral ini menciptakan mentalitas baru: “asal selamat, asal jabatan aman.” Dan di balik wajah-wajah yang tampak santun di depan kamera, tersembunyi ketakutan abadi — takut kehilangan kekuasaan yang mereka anggap sebagai takdir, bukan titipan.

Krisis Nurani dan Hilangnya Keteladanan

Korupsi, nepotisme, dan skandal moral bukanlah penyakit yang tiba-tiba muncul. Dia tumbuh karena hilangnya rasa malu dan lenyapnya keteladanan. Ketika generasi muda melihat pejabat yang tertangkap justru mendapat simpati politik, mereka belajar bahwa kejahatan bisa dinegosiasikan, asal punya kekuasaan. Lebih tragis lagi, masyarakat pun ikut terperangkap dalam mentalitas yang sama—menyembah uang, mencemooh kejujuran, dan menjadikan tipu daya sebagai keterampilan bertahan hidup. Inilah titik terendah sebuah bangsa: ketika rakyat dan pemimpinnya saling mencerminkan kebobrokan.

Membangun Kembali Bangsa yang Berhati

Kerusakan moral pejabat bukan sekadar soal individu, tetapi cermin dari sistem yang kehilangan ruh ilahi. Selama bangsa ini masih menilai kesuksesan dari kekuasaan dan bukan dari keberkahan, maka rotasi pejabat hanya akan memindahkan kebusukan dari satu kursi ke kursi lain. Sudah waktunya kita kembali menatap sejarah bukan untuk menyesalinya, tetapi untuk memperbaikinya. Negeri ini pernah berdiri di atas takbir dan darah suci para Mujahid. Maka jika kita ingin moral bangsa pulih, pejabatnya harus kembali memahami arti amanah — bukan sebagai simbol kehormatan, tetapi beban suci yang akan ditimbang di hadapan Tuhan.

Kekuasaan tanpa moral adalah kekosongan  dan bangsa tanpa iman adalah tubuh tanpa jiwa. Indonesia tidak akan runtuh karena miskin sumber daya, tapi karena kehilangan rasa malu. Dan bila pejabatnya kembali belajar malu, maka bangsa ini mungkin akan menemukan kembali jiwanya yang hilang. “Moral pejabat bukanlah urusan individu, melainkan cermin bangsa. Jika cermin itu retak, jangan salahkan pantulan wajahnya.”

*Praktisi Media Massa dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *