Oleh: Benz Jono Hartono*
Dalam sejarah politik Indonesia, pergantian Presiden sering kali bukan sekadar urusan konstitusi, tetapi lebih mirip pentas wayang yang sutradaranya bukan hanya Presiden, melainkan juga militer, partai politik, tekanan massa, dan terkadang—ambisi pribadi para pembantu dekatnya. Jika ada yang terlihat “paling rapi,” maka ironinya justru jatuh pada Soeharto, tokoh yang 32 tahun memimpin tanpa jeda, tetapi turun dengan gaya paling formal dan penuh ritual kenegaraan, seolah-olah dia hanya pensiun dari perusahaan keluarga.
Soeharto mundur paling tenang dalam situasi paling tidak tenang 21 Mei 1998, Soeharto membaca naskah pengunduran diri dengan suara datar dan wajah teduh—padahal di luar pagar istana, negara nyaris seperti wajan yang dilempar ke kobaran api. Namun tetap saja, secara administratif dia turun paling “bermartabat.” Tidak ada SI MPR yang menurunkan, tidak ada voting, tidak ada penolakan LPJ. Dia undurkan diri sendiri—setidaknya secara dokumen.
Dalam studi transisi demokrasi, Samuel P. Huntington menyebut model ini sebagai “transisi terpaksa yang tetap berwajah legal” (Huntington, The Third Wave, 1991). Sempurna untuk Soeharto: tekanan dahsyat, jalan keluarnya legal.
Soekarno Turun Melalui Jalan Berliku yang Dikawal Militer
Bandingkan dengan Soekarno — Sang Proklamator tidak diberi pilihan mundur. Supersemar, yang hingga kini masih menjadi artefak politik paling misterius, menjadi pembuka jalan bagi MPRS mencabut kekuasaannya pada 1967 (lihat Crouch, The Army and Politics in Indonesia). Soekarno turun bukan sebagai negarawan yang pamit, tetapi sebagai Presiden yang digeser perlahan-lahan oleh mesin politik yang makin tidak bersahabat.
Jika Soeharto turun lewat naskah resmi, Soekarno turun lewat dokumen yang keabsahannya diperdebatkan hingga hari ini. Ironi sejarah? Sangat. B.J. Habibie — Presiden Baik yang ‘Digusur’ dengan cara paling sopannya MPR. Habibie bukan diturunkan—dia ditolak. Laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR tahun 1999. Secara akademik ini disebut “delegitimasi prosedural” (Linz & Stepan, Problems of Democratic Transition, 1996).
Habibie turun bukan karena rusuh, bukan karena lawan politik menyerbu Istana, tetapi karena MPR berkata: “Maaf, Anda tidak cukup layak untuk lanjut.” Cara paling santun untuk tidak dipilih kembali—namun tetap saja sebuah penolakan.
Gus Dur Presiden yang Turun Lewat Drama Politik Terburuk Era Reformasi
Abdurrahman Wahid turun bukan lewat pemilu, bukan lewat pengunduran diri, tetapi lewat Sidang Istimewa MPR 2001 yang diwarnai tarik-menarik kepentingan partai politik (lihat Greg Barton, Gus Dur: The Authorized Biography). Gus Dur menolak mengakui SI MPR, MPR tetap jalan terus. Hasilnya: mandat dicabut, jabatan hilang, dan pintu istana tertutup.
Dalam bahasa satir: “Gus Dur adalah satu-satunya presiden RI yang dipecat seperti manajer klub sepak bola yang dianggap gagal menang tiga pertandingan berturut-turut.” Megawati Presiden yang dikalahkan oleh pembantunya sendiri
Megawati tidak diturunkan. Dia dikalahkan—lebih tepatnya disergap secara politis—oleh orang yang pernah duduk di ruang kabinetnya: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY keluar dari pemerintahan, membangun citra, menaikkan elektabilitas, lalu menjadi presiden mengalahkan bosnya sendiri. Dalam kajian politik eksekutif, ini dikenal sebagai “elite betrayal” (Higley & Burton, 2006). Megawati tidak digulingkan, tetapi dipecundangi secara elegan oleh mantan bawahannya.
Soeharto turun paling mulus tetapi bukan paling demokratis Dalam peta sejarah, pergantian Presiden Indonesia tampak seperti mosaik kecelakaan politik: Soekarno dipaksa, Habibie ditolak. Gus Dur dipecat. Megawati dikalahkan anak buah, dan Soeharto—turun dengan cara paling teratur. Seolah-olah dia Presiden yang paling hormat pada prosedur, padahal dia justru pemimpin paling lama yang memodifikasi prosedur itu sendiri selama 32 tahun. Sebuah ironi sejarah yang terlalu halus untuk tidak disampaikan.
*Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat, dan Director Executive Hiawatha Institute
Editor: Jufri Alkatiri
