Oleh: Benz Jono Hartono*
Skenario Imajiner: Seandainya Soeharto masih hidup dan masih berkuasa hari ini. Langkah ke Lima: Membenahi ekonomi dengan tangan dingin”. Melihat kondisi ekonomi hari ini—utang besar, konflik kebijakan, investasi lari, pengangguran naik—Soeharto akan mengambil langkah klasik: a. Stabilitas dulu, pertumbuhan berbicara kemudian. Pasar butuh kepastian. Investor butuh ketenangan. Soeharto akan menempatkan teknokrat murni, bukan Jenderal Politik atau pengusaha partai. b. Mafia yang kebablasan dipotong, bukan diundang ke rapat. Di masa Orba, korupsi ada, tetapi “rapi dan bisa dikendalikan”. Hari ini korupsi acak dan liar—dan bagi Soeharto, itu tidak profesional. c. Swasembada pangan gaya baru — dia akan menyapu bersih kartel pangan dengan cara lama: panggil, senyum, bicara halus, tetapi semua orang paham bahwa itu bukan ajakan diskusi, melainkan peringatan yang sopan.
“Soeharto bukan kembali untuk berkuasa, tetapi menertibkan” — dalam fiksi politik ini, Soeharto bukan kembali untuk menggulingkan siapa pun. Dia tidak haus jabatan dan hanya muncul kembali di puncak kekacauan sebagai figur stabilitas, seperti jam dinding tua yang, meski kuno, tetap menunjukkan waktu dengan akurat. Dan setelah semuanya tenang, partai menyatu, ekonomi stabil, pejabat gaduh tersisih oleh kualitas—Soeharto hanya berkata: “Wis to, saiki kowe kabeh sing nerusake. Negara iki ora butuh ribut. Butuh kerja. Lalu dia kembali pergi, meninggalkan Indonesia dengan ketenangan yang mirip era 1970-an—namun tanpa membekukan kritik seperti dulu. (selesai)
*Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat dan Executive Director Hiawatha Institute
Editor: Jufri Alkatiri
