Renungan Dino Jemuwah: Ilmu Kalam (bag-12)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

Kritik Pertama, dalam teori emanasi (pancaran cahaya) wujud ciptaan memiliki sifat dasar yang sama dengan pencipta-Nya, yaitu “cahaya”. Selanjutnya, tentu hal ini bertentangan dengan keyakinan dalam agama Islam mengenai konsep Tuhan yang bersifat Dzat Maha Esa, Dzat yang Tidak Memiliki Bandingan (lihat sifat-sifat Allah dalam Asmaul Husna), dan penciptaan manusia pertama yang berasal dari tanah dan selanjutnya manusia diciptakan dari sel sperma dan sel telur yang disimpan dalam rahim (menggunakan metafora gumpalan darah, lihat  QS. Al-Alaq/96:01.

Apabila konsep emanasi tersebut berkembang luas dalam masyarakat Islam, maka kemungkinan penafsiran baru yang menyimpang dari alQur’an akan muncul.  Kritik Kedua, konsep emanasi berjalan secara otomatis, seperti sinar matahari yang terpancang dari sumbernya. Proses penciptaan yang bersifat otomatis ini menyalahi sifat Tuhan yang memiliki kuasa dan keinginan untuk menciptakan sesuatu.

Sifat Tuhan yang berkuasa dalam menciptakan sesuatu tersurat dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an, yaitu dari konsep kata kun fayakũnu. Leaman (2006:516) menjelaskan bahwa dibutuhkan nuansa filosofis untuk menjelaskan kapabilitas dan kekuatan Tuhan yang menganugrahkan ‘aqal di dunia. Leaman menjabarkan, bahwa Allah memutuskan untuk menciptakan dunia melalui firmannya “When he decided (qadha) a thing, He needs only say “be” and it is (kun fayakũnu)” yang dapat dilihat di beberapa surah (Q.S. al-Baqarah/2: 117; QS.Ali-Imran/3: 47; Q.S:19,35; Q.S :40, 68).

Penggunaan kata kerja qadhã menunjukkan kesempurnaan tindakan penciptaan pada saat yang bersamaan menunjukkan keadilan dan kebenaran dari Tuhan (Leaman, 2006:516).  Ayat ini sesuai dengan penjelasan Ibnu Rusyd bahwa, Tuhan adalah Pencipta sekaligus Penggerak dari alam semesta, tidak bersifat otomatis sebagaimana halnya emanasi dalam pemikiran Neoplatonis dan Ibnu Sina

Kritik ketiga, adalah bahwa konsep emanasi pada dasarnya bukanlah bagian dari Aristoteles, melainkan Neoplatonis. Kesalahan Ibn Sina disebabkan pengambilan sintesis dari teks sumber kesekian tanpa mencoba mencari tahu asal-usul penulis teks tersebut.

Ibnu Rusyd memperlihatkan dengan jelas posisi penting dari sanad (jalur riwayat) dan usaha verifikasi identitas dari suatu teks. Usaha tersebut mengantarkan Ibnu Rusyd pada teks asli dan membangun interpretasi dengan landasan yang lebih valid.

Pembersihan Neoplatonis dari teks Aristoteles tidak hanya bermanfaat bagi perkembangan filsafat Islam, namun pada pertengahan abad ke-13, komentar dan pemikiran Ibnu Rusyd menjadi pemandu terbaik dalam memahami ajaran Aristoteles dan menyumbang pemikiran filsafat bagi bangsa Eropa menuju renaisans (Pasnau, 2011).

Kritik ke empat, Ibnu Rusyd juga mengkritik konsep emanasi dari Ibnu Sina yang dianggap masih terlalu abstrak dan sulit diterima secara rasional. Konsep emanasi ibnu Sina mencoba menjawab persoalan abstrak dengan yang lebih abstrak lagi;  Hal ini yang dapat menyebabkan kerancuan, dan sikap menduga-duga tanpa ada bukti empiris.

Dalam hal ini Fokus Ibnu Rusyd berbeda dari Ibnu Sina, Ibnu Rusyd memulai dengan memberi batasan definisi mengenai metafisika sebagai ilmu yang akan menjadi pelengkap dan penjelas letak kesalahan Neoplatonis, yaitu dalam hal konsepnya tentang emanasi yang terlalu spekulatif.

Bagaimana mungkin terjadinya alam semesta tanpa proses dari Sang Pencipta? Hal itu tidak masuk akal bagi Ibnu Rusyd. Demikian juga, apabila tercipta dari emanasi, maka secara kodrat mahluk akan dapat mengetahui segala apa yang diketahui oleh Yang Satu, setidak-tidaknya ada yang tersisa dalam akal yang tercipta. Akan tetapi, faktanya yang tercipta (makhluk) tidak mengetahui apapun tentang urusan yang gaib atau keilahian.

Ibnu Rusyd mencoba menjelaskan keberadaan Tuhan melalui fenomena empiris, yaitu pergerakan alam semesta.  Ibnu Rusyd kembali lagi pada agen intelek yang dibicarakan Aristoteles dan berakhir pada pandangan garis besar bahwa terdapat penggerak dan agen yang digerakkan di dunia material. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak terjadinya kekacauan antara garis peredaran benda-benda langit tentu membutuhkan kehadiran “Penggerak”.

Kehadiran dari “Penggerak” tentu bersifat “Dapat Menciptakan” dan “Abadi”. Poin-poin tersebut tidak bertabrakan dengan esensi dari ajaran Islam; Dengan demikian, Ibnu Rusyd telah berusaha me-rasionalisasi agama Islam dengan berlandaskan ajaran Aristoteles tanpa melakukan penyimpangan baik dari kacamata filsafat maupun kacamata agama. (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *