Makna Haji Bergeser dari Jejak Spiritual ke Jejak Digital

Pergeseran Makna Haji: Jejak Spiritual Digantikan Digital (Foto: Tribunnews.com)

Oleh: Prof. Dr. Murodi al-Batawi, MA, Arief Subhan, dan Study Rizal LK*

Haji — dalam sejarah Islam Indonesia, pernah menjadi salah satu sumber inspirasi paling kuat bagi lahirnya kesadaran kolektif umat Islam atas pentingnya perubahan. Dalam masa-masa kolonial, perjalanan ke Tanah Suci bukan hanya rangkaian ibadah yang berat dan panjang, tetapi juga  ritual sosial-politik yang membawa dampak luar biasa. Haji — mengubah pandangan seseorang, memperluas cakrawala, dan bahkan membentuk watak pembaruan,  serta keberanian melawan ketidakadilan.

Tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam Indonesia seperti K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, Syaikh Kholil Bangkalan, Syeikh Nawawi al- Bantani, Syeikh Abdul Madjid al-Batawi, misalnya, bukan sekadar individu saleh yang pernah berhaji, melainkan pembaru yang memanfaatkan pengalaman spiritual dan intelektualnya di Timur Tengah untuk mendirikan organisasi keagamaan yang mencerahkan umat. Dalam sejarah sosial — para haji seperti Haji Misbach dan Haji Agus Salim bahkan menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, menolak untuk menjadikan agama sebagai alat penjinakan oleh kekuasaan.

Tidak heran, jika pemerintah Kolonial Belanda merasa perlu untuk mengatur gerak-gerik para haji lewat Ordonansi Haji tahun 1916, menyusul rekomendasi orientalis Christian Snouck Hurgronje  — melihat bahwa banyak dari para haji yang kembali dari Makkah tidak lagi sama: mereka membawa semangat perlawanan, ide-ide Pan-Islamisme, dan koneksi global yang mengancam stabilitas kekuasaan kolonial. Gelar “haji” di masa itu bukan sekadar kehormatan spiritual, tetapi juga pernyataan sikap sosial-politik.

Pergeseran Makna Haji

Jika menoleh ke realitas kekinian, tampak bahwa makna haji mengalami pergeseran yang begitu drastis. Dalam lanskap budaya digital hari ini, haji lebih sering tampil sebagai atribut kelas sosial dan performa religius, alih-alih sebagai pengalaman transformatif. Jejak spiritual digantikan jejak digital; dokumentasi selfie, vlog perjalanan, dan feed Instagram dari Tanah Suci seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari “ritual” haji modern.

Masyarakat menyambut  haji bukan lagi karena perubahan substantif dalam sikap hidup atau kontribusinya kepada masyarakat, melainkan karena statusnya di mata sosial. Label “H” atau “Hj” menjadi penanda status, bukan cerminan kepemimpinan moral. Haji kini tampak lebih sebagai wisata spiritual yang mewah, bukan pengembaraan ruhani yang menggugah nurani dan mendorong keterlibatan dalam perjuangan sosial.

Mengapa terjadi degradasi seperti ini? Mengapa  ibadah yang dulu menjadi titik balik kesadaran kolektif umat, kini tereduksi menjadi simbol gaya hidup religius yang kosong? Jawaban atas pertanyaan ini tidak sesederhana menyalahkan teknologi atau media sosial. Sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra, perubahan makna keagamaan dalam masyarakat Muslim Indonesia tidak lepas dari konteks modernisasi, urbanisasi, dan tumbuhnya kelas menengah Muslim yang makin berorientasi pada konsumsi dan estetika. Haji menjadi bagian dari identitas sosial baru yang sarat dengan simbolisme kemapanan dan kehormatan, tetapi tidak selalu diikuti oleh tanggung jawab sosial yang sama.

Haji dan Perubahan Sosial

Taufik Abdullah melihat bahwa dalam masyarakat tradisional, agama berperan sebagai kekuatan pembentuk struktur sosial dan sekaligus etika kolektif  — namun dalam masyarakat moderen, agama justru cenderung mengalami personalisasi dan privatisasi. Dalam konteks ini, haji menjadi ekspresi identitas privat yang dipamerkan di ruang publik, tanpa terikat pada tanggung jawab kolektif seperti dahulu.

Mazhab Ciputat, yang berpijak pada gagasan rasionalisme Islam Harun Nasution dan inklusivisme Cak Nur — melihat degradasi makna haji ini sebagai gejala pendangkalan religiusitas di tengah dominasi formalisme simbolik. Agama menjadi tampilan, bukan lagi pendorong aksi sosial. Ketika haji menjadi wahana untuk meraih pengakuan sosial di dunia digital, maka spiritualitas tak lagi mendalam, melainkan menyebar tipis di permukaan layar.

Ironisnya, pada saat yang sama, tantangan umat Islam justru semakin kompleks. Ketimpangan sosial, krisis moral publik, intoleransi, hingga problem ekologi yang makin parah, semua menuntut lahirnya “haji-haji baru” yang mampu menjadi agen perubahan. Sayangnya, sedikit dari mereka yang kembali dari Baitullah benar-benar membawa pulang visi baru untuk umat.

Barangkali kini saatnya untuk menghidupkan kembali semangat haji sebagai titik balik. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat dan bangsa. Kita perlu kembali bertanya: mengapa para pendiri Muhammadiyah, NU, dan tokoh-tokoh Islam dahulu setelah berhaji justru mendirikan organisasi, membangun pendidikan, atau memimpin perjuangan? Sementara kini, haji lebih banyak mendirikan feed dan menandai lokasi?

Kalau haji tidak melahirkan kepedulian sosial, keberanian moral, atau etos pembaruan, maka haji hanya menjadi perjalanan yang kehilangan ruhnya. Sebagaimana dahulu haji menjadi batu loncatan bagi munculnya gerakan sosial-keagamaan yang progresif, maka hari ini haji harus dikembalikan ke fungsinya semula: memanusiakan manusia dan menyadarkan umat. Baitullah adalah tempat kita berikrar untuk menjadi lebih baik. Tetapi pertanyaannya adalah: sesudah itu, ke mana langkah kita pulang? Dan apa yang kita bangun setelah pulang?

* Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *