Pemberdayaan  Masyarakat Berbasis Al-Ma’un

Oleh: Kurniawan Zulkarnain*

Pada tahun1981 Saya bersama Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) lainnya melakukan audensi kepada Menteri Agama RI Alamsyah Ratu Perwiranegara kala itu. Alamsyah menyampaikan pendapatnya bahwa Umat Islam tengah menghadapi tiga tantangan utama yaitu kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Tiga masalah yang saling berkelindan satu sama lainnya. Setelah hampir empat dekade, pernyataan Menag Alamsyah tersebut, kondisi umat belum  banyak beranjak.  

Pendidikan sebagai wahana memberantas kebodohan sekaligus media mobilitas sosial bagi umat Islam — namun dalam bidang pendidikan, umat menghadapi  kendala dalam mengakses  pada sarana dan prasarana pendidikan. Hal ini diperparah oleh rendahnya komptensi para pengajarnya baik ilmu agama maupun ilmum, khususya yang terkait dengan perkembangan STEM (Sains, Tehnologi, Enginering, dan Matematika) dan metodolgi mengajarkannya agar anak-anak umat memiliki literasi yang baik untuk bekal masa depannya. 

Tantangan serius lainnya yang dihadapi umat adalah adanya krisis identitas, karakter, dan degradasi moral,karena tiadanya penyaringan terhadap pengaruh globaliasi yang mengikis nilai-nilai Ke-Islaman. Hal ini berhubungan dengan kurang up-datenya, metode dakwah dalam menanamkan nilai-nilai ke-Islaman. Pendidikan agama disampaikan bersifat formal bukan membentuk karakter dan akhlak. Bila, penguatan penguatan identitas dan karakter absen,maka tidak mengherankan, budaya korupsi tetap menjadi masalah kronis. 

Kemiskinan pada kalangan Umat Islam masih serius, tengok saja fakta  distribusi  kekayaan yang tidak merata. Paradoknya bangsa Indonesia  memiliki sumber daya alam melimpah, namun sebagian besar umat hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan yang dialami umat, tidak terlepas dari keterbatasan pada  ekonomi: aspek budaya wirausaha,masalah keuangan,pemasaran dan tehnologi. Ironisnya,sebagian besar Umat Islam bekerja di sektor informal dengan pendapatan rendah dan ketergantungan pada sektor primer.

Narasi Moderasi Islam belum difahami dan dilaksanakan secara merata. Moderasi Islam merupakan pendekatan beragama yang menjunjung keseimbangan, toleransi, dan penolakan terhadap ekstremisme, baik dalam bentuk radikalisme maupun liberalisme yang berlebihan. Konsep ini sejalan dengan prinsip Islam sebagai Agama rahmatan lil ‘alamin (Rahmat bagi semesta alam). Namun, dalam praktiknya, moderasi Islam menghadapi berbagai tantangan.

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Al-Ma’un

Dikisahkan oleh banyak sumber, KH. Ahmad Dahlan pada waktu mengajar santrinya tidak berpindah-pindah surah sebagaimana tradisi pesantren biasanya, melainkan berulang kali hanya mengajarkan Surah Al-Ma’un (QS. 107). Santrinya merasa heran, mengapa selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, sang guru hanya mengulang surah yang sama.

Ketika santri bertanya, KH. Ahmad Dahlan menjawab kurang lebih: “Kalian sudah hafal ayatnya, tetapi apakah sudah mengamalkannya?  Surah ini bukan hanya untuk dihafal dan dibaca dalam shalat, tetapi untuk diamalkan dalam kehidupan nyata.” Beliau menekankan bahwa isi Surah Al-Ma’un adalah kritik terhadap orang yang rajin beribadah, tetapi lalai terhadap kaum miskin, anak yatim, dan tidak peduli pada kehidupan sosialnya.

Dari sinilah KH. Ahmad Dahlan mengajak santrinya dan masyarakat untuk tidak berhenti pada ritual agama, tetapi melanjutkan pada amal sosial: mendirikan panti asuhan, sekolah, rumah sakit, dan gerakan pemberdayaan masyarakat. Surah ini kemudian dijadikan nafas  gerakan Muhammadiyah, yang dikenal dengan sebutan Teologi Al-Ma’un. Implementasinya nyata: Muhammadiyah sejak awal abad ke-20 mendirikan rumah sakit, sekolah rakyat, dan panti asuhan untuk membantu mereka yang termarginalkan. 

Implementasi Gerakan Masyarakat Berbasis Al-Ma’un

Prinsip Gerakan Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Al-Ma’un: Pertama, Keadilan Sosial, ekonomi tidak hanya diarahkan untuk akumulasi kekayaan individu, tetapi untuk menjamin hak-hak kaum lemah. Kedua,  Fokus utama pada masyarakat miskin, anak yatim, dhuafa, dan mereka yang termarjinalkan secara ekonomi atau Kaum Mustadafin.  Ketiga, Praksis Keagamaan Ibadah tidak berhenti pada dimensi ritual (shalat, puasa), melainkan diwujudkan dalam tindakan nyata (Dakwah Bil Hal) melalui kegiatan berdampak sosial. 

Menggerakkan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) bukan sekadar konsumtif dan belas kasihan (karitatif) melainkan panggilan ibadah sosial yang diarahkan pada pemberdayaan ekonomi umat: penguatan modal usaha,pengembangan Koperasi Syariah dan UMKM.  Gerakan pemberdayaan tidak hanya dilakukan secara individual, melainkan melalui pemberdayaan komunitas secara jama’ah sebagai untuk membangun kohesi sosial berbasis A-Ma’un.  

Gerakan Pemberdayaan Berbasis Al-Ma’un merupakan kegiatan holistik.tidak  sebatas aspek ekonomi, tetapi mencakup juga aspek pendidikan dan kesehatan. Untuk itu, program Rumah Singgah & Panti Asuhan: tidak hanya memberi santunan, tetapi juga pendidikan keterampilan. Gerakan filantropi Muhammadiyah: seperti Lazismu yang menyalurkan zakat untuk program ekonomi produktif. Kedepan, gerakan pemberdayaan oleh Organisasi Keagamaan haruslah diarahkan untuk mengisi  ceruk kegiatan yang belum atau tidak tersentuh oleh tangan-tangan  Pemerintah. Wallahu ‘Alam Bi Sowab.

*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *