Renungan Malem Jemuwah: Muhammad Rahmatan Lil’alamiin (bag-5)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

Cinta dan Kasih-Sayang Rasulullah Saw kepada semua makhluk tidaklah seperti yang ditudukan oleh para kaum humanis

Cinta Nabi adalah tulus, seimbang, dan harmoni dalam rahmat dan kasih sayang. Beliau lebih penyayang daripada siapa pun. Beliau adalah seorang Nabi yang diutus oleh Allah Sang Pencipta dan Pemelihara semua makhluk, untuk memberikan bimbingan, kebahagiaan dan kesehatan kepada makhluk berakal budi seperti manusia dan jin dan untuk keharmonisan hidup antar dimensi alam.

Jadi, rahmat hidup beliau bukan untuk dirinya dan umatnya sendiri tetapi juga untuk umat semesta dan juga alam dimensi lain; beliau adalah rahmat bagi seluruh alam semesta. Dengan Kasih-Sayang dalam menerapkan hukuman — Sebagai cerminan kasih sayang dan welas asihnya, Rasulullah saw. sangat lembut dan halus, tidak kasar dan keras. Berkat kelembutannya, Rasulullah saw. berhasil menarik banyak orang masuk Islam dan mengatasi berbagai rintangan dalam perjalanannya menuju kemenangan yang pasti.

Setelah kemenangan Badar, Perang Uhud merupakan ujian berat bagi umat Islam di Madinah. Meskipun Rasulullah saw. berpendapat  bahwa mereka harus menghadapi musuh di pinggiran Madinah, mayoritas pasukan Muslim mendesak beliau untuk maju ke medan terbuka dalam pertempuran sengit. Ketika kedua pasukan bertemu di kaki Gunung Uhud, Rasulullah saw. menempatkan lima puluh pemanah di jalur  ‘Ainain dan memerintahkan mereka untuk tidak meninggalkan tempat mereka itu tanpa izin, meskipun mereka melihat bahwa umat Islam telah meraih kemenangan telak.

Pasukan Muslim, yang jumlah dan perlengkapannya hanya sepertiga dari musuh, hampir mampu mengalahkan kaum musyrik Mekah di awal pertempuran. Namun ketika melihat musuh melarikan diri dari medan perang, para pemanah melupakan pesan/perintah Nabi saw untuk tetap pada posisi di jalur ‘Ainain. Mereka pun meninggalkan posisi mereka untuk turut serta mengejar musuh.

Melihat pasukan pemanah Nabi meninggalkan jalur ‘Ainan, Khalid bin Walid, komandan kavaleri pasukan Mekah, mengambil kesempatan dan peluang baik, dan bersama pasukan berkuda, mereka menunggang Kuda mengelilingi gunung mengambil alih jalur ‘Ainain, dan menyerang pasukan Muslim dari belakang. Tentara musuh yang melarikan diri kemudian  berbalik, dan akibatnya, kaum Muslim, yang terjebak dalam baku tembak, dan mengalami kekalahan. Lebih dari tujuh puluh Muslim syahid dan Rasulullah terluka.

Sahabat mengira, Beliau mungkin mencela orang-orang yang mendesaknya untuk maju ke medan pertempuran terbuka dan para pemanah yang meninggalkan tempat mereka bertentangan dengan perintah (komando) beliau. Namun beliau Nabi melakukan sebaliknya dengan bersikap lunak penuh lemah-lembut kepada mereka. Al-Qur’an mengatakan:

Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka; seandainya kamu bersikap keras dan keras hati, niscaya mereka akan menjauh dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Dan apabila kamu telah memutuskan, maka bertawakallah kepada Allah; sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya). (QS. Ali ‘Imran, 3:159)

Ayat ini menunjukkan, selain perlunya pemimpin bersikap lembut dan lunak kepada mereka yang melakukan kesalahan dengan niat baik, pentingnya Islam dalam memandang musyawarah dalam administrasi publik.

Kelembutan dan pengampunan Rasulullah merupakan cerminan dari Nama-nama Allah, Yang Maha Lembut, Maha Pengasih, dan Maha Pengampun. Allah tidak berhenti memberi rezeki kepada manusia meskipun mereka memberontak atau tidak beriman. Sementara sebagian besar manusia mendurhakai-Nya, baik dalam kekufuran maupun dalam bentuk nyata maupun implisit menyekutukan-Nya, atau melanggar perintah-perintah-Nya, matahari terus memancarkan panas dan cahayanya, awan datang membantu mereka dengan hujan, mengeluarkan mata air dan bumi tak henti-hentinya memberi mereka rezeki dengan berbagai buah dan tanamannya.

Hal ini karena sifat Maha Pengasih dan Maha Pengampun Allah SWT, yang tercermin dalam diri Rasulullah, saw, melalui kasih sayang, kelembutan, dan pengampunannya. Seperti Nabi Ibrahim, yang sering dikatakan mirip dengannya, Rasulullah saw. adalah sosok yang lemah lembut, penuh penyantun, penyayang, dan penuh menghiba (QS. Hud, 11:75), juga lemah lembut kepada orang-orang beriman serta penuh belas kasihan dan welas asih kepada mereka (QS. at-Taubah, 9:127). Ibrahim (khalilulah) tidak pernah marah kepada manusia, betapa pun mereka menyiksanya. Ia mengharapkan kebaikan bahkan untuk musuh-musuhnya. Dia memohon kepada Allah dengan menghiba meneteskan air mata di hadirat-Nya. Karena Dia adalah orang yang membawa kedamaian dan keselamatan, Allah menjadikan api tempat Dia dilemparkan menjadi dingin dan aman baginya (QS. al-Anbiya’, 21:69)

Seperti halnya dengan Rasulullah saw yang tidak pernah marah kepada siapa pun atas apa yang dilakukan kepadanya. Ketika istrinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha, dijadikan sasaran fitnah, beliau tidak berpikir untuk menghukum para pemfitnah itu bahkan setelah Aisyah dibebaskan oleh Al-Qur’an.

Orang-orang Badui sering datang kepadanya dan berperilaku tidak sopan, tetapi beliau bahkan tidak mengerutkan kening kepada mereka. Meskipun sangat sensitif, beliau selalu menunjukkan kesabaran terhadap semua orang, baik kawan maupun lawan. Kepekaan beliau sedemikian rupa sehingga jika, misalnya, jarum menusuk jarinya, dia akan merasakan sakit yang lebih parah daripada yang dirasakan orang lain ketika ditusuk. Meskipun demikian, beliau menoleransi semua kelancangan orang. (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *