Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Lemah Lembut dalam Memberi Keadilan
Sebagaimana dikisahkan sebelumnya, beliau membagi-bagikan rampasan perang setelah pertempuran Hunayn, ketika seorang pria bernama Dzul Huwaysira keberatan, dengan mengatakan: “Bersikaplah adil, wahai Muhammad!” Ini merupakan pelanggaran yang tidak termaafkan terhadap karakter suci seorang Nabi yang bertugas menegakkan keadilan di dunia. Karena tidak tahan menerima penghinaan semacam itu terhadap Rasulullah saw Umar pun bereaksi: “Biarkan aku membunuh orang munafik ini, wahai Rasulullah!” Namun Rasulullah saw tidak melakukan apa pun selain berkata: Siapa lagi yang akan berlaku adil jika aku tidak adil? Jika aku tidak berlaku adil, maka aku telah tersesat dan sia-sia. (HR. Muslim). Menurut versi lain, beliau berkata: Jika aku tidak adil, maka dengan mengikutiku, kalian umat manusia telah tersesat dan sia-sia. (HR. Bukhori)
Kedua riwayat hadits merupakan sabda beliau, yang menyiratkan bahwa orang itu kelak akan terlibat dalam gerakan khianat, yang menjadi kenyataan pada masa Kekhalifahan Ali. Dzul Huwaysira ditemukan tewas di antara kaum Khawarij yang gugur dalam Pertempuran Nahrawan.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik, yang melayani Rasulullah selama sepuluh tahun, dan selama itu beliau tidak pernah dicela dan kena marah. Seorang wanita Yahudi mempersembahkan seekor domba panggang kepada Rasulullah setelah penaklukan Khaibar. Tepat sebelum beliau menyuap suapan pertama, Rasulullah berhenti dan memberi tahu yang lain yang sedang makan untuk tidak memakannya, seraya berkata: Domba ini memberitahuku bahwa dia beracun –namun, seorang sahabat, bernama Bishr, meninggal segera setelah beliau menyantap suapan pertama. Rasulullah saw memanggil wanita itu dan bertanya kepadanya mengapa dia mencoba meracuni beliau.
Wanita itu menjawab
Jika engkau benar-benar seorang Nabi, racun itu tidak akan berpengaruh padamu. Jika bukan (Nabi) aku ingin menyelamatkan manusia dari kejahatanmu. Rasulullah saw. memaafkan wanita itu atas konspirasinya untuk membunuhnya. (HR. Bukhori)
Ketika Nabi saw. kembali ke rumahnya setelah berbicara dengan para sahabat di masjid, seorang Badui menarik kerah bajunya dan berkata dengan kasar: “Wahai Muhammad! Berikanlah hakku! Muatlah kedua Untaku ini. Karena kau tidak akan memuatnya dengan hartamu sendiri maupun harta ayahmu”. Atas kelancangan ini, Rasulullah menjawab tanpa menunjukkan rasa tersinggung: Berikanlah kepada orang itu apa yang dia inginkan! (HR. Abu Dawud)
Zayd bin San’an meriwayatkan
Suatu ketika, Rasulullah meminjam sejumlah uang dariku. Saat itu aku belum menjadi seorang Muslim. Aku mendatanginya untuk menagih utangku sebelum jatuh tempo, dan menghinanya dengan mengatakan; “Kalian, anak-anak ‘Abd al-Muttalib, sangat enggan membayar utang kalian! Umar menjadi sangat marah dengan penghinaanku ini dan berteriak; “Wahai musuh Allah! Seandainya bukan karena perjanjian antara kami dan komunitas Yahudi, aku akan memenggal kepalamu! Bicaralah dengan sopan kepada Rasulullah!.
Namun, Rasulullah tersenyum kepadaku dan, menoleh ke Umar, berkata; ‘Umar, bayarlah utang orang itu! Dan tambahkan dua puluh galon lagi karena kau telah membuatnya takut!
Umar menceritakan kelanjutan kisah tersebut di atas: “Kami pergi bersama Zayd bin San’an. Di tengah jalan, Zaid berbicara kepadaku tanpa diduga; Wahai Umar! Kau marah kepadaku. Namun aku telah menemukan dalam dirinya semua sifat Nabi Terakhir yang tercatat dalam Taurat, Perjanjian Lama. Ketahuilah, ada ayat ini di dalamnya: “Kelembutannya melampaui amarahnya. Kerasnya kelancangan terhadapnya hanya menambah kelembutan dan kesabarannya.” Untuk menguji kesabarannya, aku mengucapkan apa yang telah kuucapkan (penghinaan). Sekarang aku yakin bahwa dialah Nabi yang kedatangannya dinubuatkan oleh Taurat, maka aku beriman dan bersaksi bahwa dialah Nabi Terakhir. (Suyuti, al-Khasa’is, 1.26)
Persaudaraan dan kemanusiaan diciptakan Nabi di antara orang-orang yang dulunya biadab
Rasulullah sendiri sangat teliti dalam menjalankan agamanya. Tidak seorang pun dapat meniru beliau dalam melaksanakan salat sunah. Meskipun tanpa dosa, beliau menghabiskan lebih dari separuh malam dengan salat sambil menangis, dan terkadang berpuasa dua atau tiga hari berturut-turut. Setiap saat, beliau melangkah lebih jauh menuju “kedudukan terpuji” yang ditetapkan Allah untuknya. Namun, beliau sangat toleran terhadap orang lain; agar umatnya tidak terbebani, beliau tidak melaksanakan salat sunah di masjid. Dan ketika beredar keluhan tentang seorang imam (pemimpin salat) karena ia memperpanjang salat, Nabi naik mimbar dan berkata:
Hai manusia! Kalian membuat manusia enggan untuk salat. Barangsiapa di antara kalian yang memimpin salat wajib, janganlah memperpanjangnya, karena di antara kalian ada orang yang sakit, tua, atau yang sedang membutuhkan pertolongan. (HR. Bukhori)
Suatu ketika, jamaah beliau mengadu kepada Nabi tentang Mu’adz bin Jabal yang memperpanjang salat malam (Isa’). Kecintaan Nabi kepada Mu’adz tidak menghalangi beliau untuk menegurnya, dengan mengatakan, Apakah engkau seorang pembuat onar? Apakah engkau seorang pembuat onar? Apakah engkau seorang pembuat onar? (HR. Muslim)
Kelembutan dan kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memikat hati dan menjaga persatuan umat Islam. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, seandainya beliau bersikap keras dan berhati keras, orang-orang akan menjauh darinya. Namun, mereka yang melihat dan mendengarkan beliau meraih derajat wali. Misalnya, Khalid bin Walid adalah jenderal Quraisy yang menyebabkan umat Islam mengalami kekalahan dalam Perang Uhud. Namun, ketika beliau tidak diikutsertakan dalam pasukan yang berangkat untuk kampanye militer pada hari setelah masuk Islam, beliau menjadi sedih dan terisak-isak.
Seperti Khalid, Ikrimah dan ‘Amr bin al-‘As termasuk di antara orang-orang yang melakukan kejahatan besar terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Ketika mereka beriman, masing-masing mengabdi kepada Islam dengan tulus sebagai komandan atau gubernur. Ibnu Hisyam, saudara Abu Jahal, masuk Islam tidak lama sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia menjadi seorang Muslim yang begitu taat sehingga tepat sebelum syahid di Pertempuran Yarmuk, dua tahun setelah wafatnya Rasulullah, dia tidak meminum air yang ditawarkan Hudayfa al-‘Adawi kepadanya, dan memintanya untuk memberikannya kepada orang yang terbaring di dekatnya yang sedang merintih membutuhkan air. _Dia meninggal karena lebih mengutamakan saudara Muslimnya daripada dirinya sendiri. (Hakim, Al-Mustadrak) (Habis)
*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri