Renungan Dino Jemuwah: Ilmu Kalam (bag-10)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

Ibnu Sina menafsirkan berbagai sifat Ilahi Tuhan yang terdapat dalam kitab suci dengan cara yang menyelaraskan maknanya dengan menafisirkanya tentang Tuhan sebagai Wujud Wajib yang mutlak sederhana: “Sifat-sifat-Nya beroperasi sebagai negasi (salb), sebagai hubungan (idāfa), sebagai komposisi negasi dan hubungan”. Dengan demikian, pluralitas sifat-sifat tersebut tidak melanggar keesaan-Nya atau bertentangan dengan wujud wajib (Kars 2019: 85).

Beberapa atribut, seperti “keabadian” (qidam), “yang esa” (al-wāḥid/al-aḥad), dan “yang mengetahui” atau “yang berakal”, merupakan negasi dari ketidaksempurnaan dan keterbatasan dari Tuhan, seperti ketiadaan, multiplisitas, dan ketidaktahuan atau materialitas; Atribut “Eksistensi Wajib” menandakan negasi dari sebab apa pun bagi Tuhan dan penegasan hubungan Tuhan dengan makhluk sebagai penyebab segala sesuatu. Nama-nama ilahi seperti “pencipta”, “pengasih”, atau “penyayang” adalah atribut tindakan yang menggambarkan hubungan Tuhan dengan makhluk ciptaan.

Secara keseluruhan, berbagai atribusi yang dikaitkan dengan Eksistensi Wajib tidak menghasilkan multiplisitas di dalam Tuhan karena kehidupan, pengetahuan, kehendak, kekuasaan, kebaikan, intelek, kesatuan, dan keutamaan Tuhan — sepenuhnya identik dengan Diri-Nya sendiri baik dalam hakikat maupun maknanya; Setiap atribut positif  Tuhan dapat direduksi menjadi Tuhan sebagai Wujud Wajib melalui Diri-Nya (Avicenna (Ibn Sīnā) 2005: 295–296).

Sesuai dengan pendekatan di atas, Ibnu Sīnā menyebut Tuhan sebagai “sempurna dalam wujud” dalam arti bahwa Tuhan tidak kekurangan kesempurnaan apa pun. Dia juga “melampaui kesempurnaan” karena wujud-Nya eksklusif bagi Diri-Nya sendiri, dengan semua wujud lain yang berasal dari Tuhan dan bergantung kepada-Nya.

Tuhan adalah “yang baik” karena Dia menganugerahkan segala kesempurnaan kepada segala sesuatu dan diinginkan oleh segala sesuatu.  Tuhan disebut  intelek murni karena Dzat-Nya terpisah dari materi dalam segala hal (Avicenna (Ibn Sīnā) 2005: 283–285).

Ibnu Sina juga menegaskan bahwa Tuhan secara intelektual memahami semua eksistensi, bukan dengan langsung mengintelektualkan benda-benda itu sendiri, melainkan dengan mengintelektualkan Esensi-Nya sendiri sebagai prinsip atau penyebab segala sesuatu: (Avicenna (Ibnu Sina) 2005: 287–288). “Yang Wujud Wajib memahami semua hal secara intelektual secara universal; namun, terlepas dari ini, tidak ada satu hal pun yang luput dari pengetahuan-Nya”

Bagi Ibnu Sina, Tuhan adalah pencipta abadi semua eksistensi yang mungkin atau kontingen, yang merupakan ciptaan-Nya. Tindakan penciptaan Tuhan adalah tindakan kehendak berdasarkan kehendak-Nya. Namun, karena kehendak Tuhan identik dengan pengetahuan, kekuasaan, dan Esensi-Nya, kehendak-Nya untuk memulai ciptaan-Nya juga merupakan tindakan yang wajib, bukan pilihan libertarian.

Tindakan penciptaan Tuhan dinegasikan oleh Esensi Tuhan, dan Dia niscaya menciptakan tatanan terbaik yang berasal dari-Nya. Lebih lanjut, wujud pertama yang berasal dari Tuhan secara langsung tanpa perantara adalah satu entitas dan tidak mungkin merupakan banyak hal; wujud ciptaan pertama ini adalah Akal Pertama.

Hal ini karena prosesi berbagai entitas dari Tuhan secara logis mensyaratkan berbagai aspek dalam Esensi Tuhan – yang mustahil: Makhluk pertama yang (berasal) dari Sebab Pertama berjumlah satu, entitas dan hakikatnya satu, (dan) tidak berwujud, akibat pertama adalah akal murni, karena dia merupakan suatu bentuk, bukan berwujud. Dia adalah akal pertama yang terpisah yang telah kita sebutkan. (Avicenna (Ibn Sīnā) 2005: 328).

Ibn Sīnā membayangkan ciptaan Tuhan sebagai hierarki akal immaterial yang abadi, jiwa spiritual immaterial, dan alam dalam keadaan gerak yang terus-menerus.

Para nabi, melalui kemampuan intelek kenabian, menerima emanasi atau inspirasi ilahi spiritual dari intelek terendah, yang dikenal sebagai Intelek Aktif, dan bentuk-bentuk imajiner dari jiwa-jiwa di alam semesta. Seorang nabi memahami isi Intelek Aktif yang dapat dipahami tanpa upaya diskursif dan menerjemahkannya ke dalam simbol dan alegori yang dia komunikasikan kepada khalayak ramai dalam bentuk wahyu kitab suci.  Setelah para nabi, manusia yang menyempurnakan kebijaksanaan praktis dan teoretis, sekaligus memurnikan jiwanya, dapat memperoleh kebajikan kenabian.

Manusia seperti itu mencapai derajat wakil Tuhan di bumi: “(Dia) memperoleh kualitas-kualitas kenabian, hampir menjadi Malaikat manusia. Penyembahan kepadanya, setelah penyembahan kepada Tuhan, hampir menjadi hal yang diperbolehkan. Dia  memang raja duniawi dan wakil Tuhan di bumi” (Azadpur 2011: 60). (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *