Iran, Xerxes, dan Kematian

Oleh: Helmi Hidayat, M.SI*

Sejarah keperkasaan, keteguhan iman, strategi perang, juga patriotisme  bangsa Iran bisa ditelusuri jauh ke masa 600 tahun sebelum Masehi. Semuanya bisa dilacak dari sejarah Kekaisaran Achaemenid yang berdiri di tahun itu, lalu Cyrus tampil sebagai kaisar terbesarnya (559 SM – 530 SM).

Jika nama Persia kerap disandingkan dengan karpet mahal, arsitektur megah, seni pahat, bahkan Kucing Angora nan anggun, itu menggambarkan betapa mewahnya Persia kala itu. Kunci kemewahan ada pada Cyrus. Dia sengaja membangun peradaban Persia di atas fondasi multikulturalisme yang mengizinkan agama-agama, ideologi-ideologi, mazhab-mazhab, juga primordialisme ras, dan kesukuan bebas berkembang. Di atas Megapolitanisme Persia inilah Cyrus menaklukkan Kerajaan Media, Lydia, bahkan Babilonia.

Di zaman itu, bola Bumi dibagi dua, Timur dan Barat. Timur adalah keperkasaan Persia, Barat adalah kemegahan Romawi. Keperkasaan Persia bisa dilihat dari jejak Kaisar Xerxes, cucu Cyrus — untuk jangka yang sangat lama, pesona Xerxes terus menyihir imajinasi Barat. Di Negeri Donal Trump, sampai sekarang Xerxes sangat terkenal dan menjadi tokoh komik yang legendaris.

Berkat popularitas Xerxes, misalnya, pada Maret 2007, industri film AS merilis film berjudul 300 garapan sutradara Zack Snyder. Film kolosal ini menyajikan kisah pertempuran Thermopylae dalam sejumlah epos Persia, lalu sukses besar. Produsernya meraup keuntungan lebih dari 450 juta dolar AS.

Banyak kritikus film menyebut film 300 sebenarnya adalah apologia Barat, bahkan bayangan inferioritas tersembunyi mereka, dalam melihat kemilau Timur. Logiskah 125.000 Tentara Xerxes — berkuda, bergajah, berpasukan ahli sihir — hampir kalah oleh pasukan Sparta yang cuma 300 orang – sesuai judul film itu?

Kitab suci Al-Quran secara implisit mengabadikan bipolarisme Barat- Timur masa lalu itu dalam surat Al-Ruum (Romawi) ayat 2 – 7. Ketika surat nomor 30 ini diturunkan, Persia baru saja menaklukkan Romawi dalam pertempuran Antioch pada 613 M. Romawi Timur dipimpin Heraklius, Persia dipimpin Jenderal Shahrbaraz. Persia menang sebab didukung tentara Yahudi pimpinan Nehemiah bin Hushel dan Benjamin dari Tiberias.

Karena Romawi menganut agama Nashrani yang datang dari Nabi Isa, padahal ajaran Muhammad SAW di Arab justru melanjutkan ajaran nabi tanpa ayah itu, kaum Muslim Arab saat itu bersedih hati, mengapa Romawi kalah?  Allah lalu menurunkan surat Ruum seraya berpesan agar kaum Muslim jangan bersedih hati ketika saudara-saudara mereka serumpun dalam agama dikalahkan sebab sebentar lagi pun, Romawi akan dimenangkan. Benar saja, kurang dari 10 tahun kemudian (625 M), Romawi menaklukkan Persia dalam pertempuran Niniwe.

Dalam teknologi perang, Persia pernah membuat bangsa Arab melongo. Ketika Madinah di era Rasulullah dikepung 10.000 tentara gabungan Arab dalam perang Ahzaab pada Maret 627 M atau 5 Hijriah, 3.000 penduduk Madinah kalut dan panik. Penduduk Madinah dari kalangan Yahudi Bani Quraizhah tertawa sinis, Muhammad pasti kalah, gumam mereka. Untung ada Salman Al-Farisi, lelaki Persia yang sudah masuk Islam, yang mengusulkan agar Nabi membangun parit raksasa di sekeliling Madinah.

Ketika 10.000 tentara Ahzab datang ke bibir Madinah dengan keyakinan menang perang, mereka melongo mendapati parit itu. Dari siapa Muhammad tahu teknologi perang yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya di Jazirah Arab ini?  Parit Salman, teknologi perang Persia itu, benar-benar telah menyelamatkan semua penduduk Madinah kala itu!

 Dari kisah Salman pula para sejarawan tahu betapa orang Iran, jika sudah tertarik dengan keimanan, mereka akan meninggalkan segalanya termasuk keluarga demi keyakinan teologis itu. Sebelum masuk Islam, Salman diberitahu ada seorang nabi akhir zaman dengan tiga indikator: hidup di sebuah kota dikelilingi pohon Kurma, menerima sadakah tetapi menolak zakat, dan ada tanda tertentu di dadanya.

Salman kemudian meninggalkan tanah Persia mencari ketiga indikator itu. Sesampainya di Madinah yang dipenuhi pohon Kurma, dia melihat seorang lelaki yang selalu dikelilingi para sahabatnya. Dia sodorkan padanya sadakah, sedekah itu diterima lelaki ini. Dia sodorkan zakat, zakat itu dibagikan langsung pada para sahabatnya. Ketika Salman celingukan ingin melihat indikator, Nabi Muhammad segera membuka bagian atas bajunya sambil berkata: ‘’Inikah yang Engkau cari?’’

Salman langsung mencium tangan Nabi, menangis, lalu tersungkur dalam pelukan Islam. Dia tidak mau kembali ke Persia sampai mati. Catat — jika seorang keturunan Iran sudah meyakini hal-hal Metafisik, hanya kematian yang bisa menghentikannya. Jadi, kalau sekarang bangsa Iran sudah beriman pada ajaran Muhammad SAW, lalu ditambah kepercayaan bahwa penderitaan Husein cucu Nabi adalah penderitaan mereka juga, jangankan Netanyahu, Nuklir Israel akan mereka hadapi sampai mati!

Itulah patriotisme bangsa Iran. Patriotisme yang mengalir dari pesan genetika Cyrus dan Xerxes ini pernah ditunjukkan oleh Abu Lu’lu’ah Fairuz, seorang perwira tentara Persia yang ditawan pasukan Muslim dalam peperangan Nahawand di era Khalifah Umar bin Khattab. Dia jadi budak Al-Mughirah bin Syubah. Sebagai budak, diam-diam dia menjadi spionase di Madinah, lalu berkolaboraasi dengan Jenderal Persia bernama Hormuzan untuk membunuh Umar.

Lalu, demi kebesaran masa lalu Persia, demi dendam kesumatnya terhadap Umar yang sudah menghancurkan Persia, dengan patriotisme menyala-nyala Abu Lu’lu’ah Fairuz yang bersembunyi di balik Mihrab sejak semalam menghambur ke tubuh Umar yang baru saja bertakbir memimpin Salat Subuh – zeb, zeb, zeb, 13 kali tusukan belati bermata dua menembus dada dan perut Umar. Umar wafat dua hari kemudian,  sedangkan Abu Lu’lu’ah Fairuz tewas di lokasi kejadian. Itulah bayaran mahal sebuah patriotisme. Jika Umar yang bertubuh besar dan kekar bisa diperlakukan seperti itu oleh seorang patriotik gelap mata, apalagi Donald Trump!

Kata “Persia” sebenarnya berasal dari Parsa, sebuah wilayah di Iran barat daya. Dulu di sini tinggal para pendiri kekaisaran kuno. Rakyat Iran lebih memilih nama Iran buat negara mereka ketimbang Persia sebab kata ini berasal dari kata Airyan atau Arya – nama sebuah ras umat manusia yang merasa identitas diri mereka paling mulia di muka Bumi.

Kini, jika jutaan keturunan Ras Arya sudah menurunkan ego mereka dengan mengakui dari bangsa Arab lahir seorang nabi akhir zaman bernama Muhammad, lalu menamakan bom-bom super canggih mereka dengan sebutan  khatamul-anbiya  (penutup para nabi), kemudian saat menekan tombol-tombol komputer agar bom-bom itu melesat sejauh 2000 kilometer menebus perisai langit Israel terlebih dulu mereka meneriakkan  Allahu Akbar – maka cemoohan apa lagi yang mau dilemparkan kepada bangsa Iran yang sangat bertauhid itu hanya gara-gara Barat memberi stigma buruk pada Syiah  untuk mengadu domba dengan  Sunni?

Ketika anak pertama saya lahir pada 1995, saya sudah punya keyakinan bahwa pertemuan antara keperkasaan masa lalu, keteguhan iman masa kini, kecanggihan strategi perang era moderen, plus patriotisme tidak mati-mati akan lahir dari Iran. Itulah sebabnya saya namakan anak saya Karbala Madania – di tanah Karbala, Husein cucu Nabi menjadi martir sebuah persekongkolan, tetapi dari tragedi ini pula lahir sebuah nasionalisme sekaligus patriotisme berbungkus Tauhid yang mengagumkan.

Jika dulu Xerxes diyakini punya pasukan ahli sihir, kini pemimpin agung Iran Ali Khamenei diyakini punya kecintaan pada kemanusiaan (di Gaza) dan perjumpaan dengan Tuhannya (di atas Shidratul Muntaha). Itulah makna sejati Madania. Berbahagialah selalu anakku, Karbala Madania — kamu sekarang sudah menjadi dosen di Universitas Indonesia. Kabarkan pada mahasiswa kamu cerita Papa tentang asal-usul nama kamu.

*Dosen Ilmu Komunikasi FDIKOM UIN Syarif Hidayatullh Jakarta, Filsuf,  dan Pengamat Sosial

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *