Oleh: Jufri Alkatiri*
Kalangan jurnalis atau wartawan akhir-akhir ini kehilangan roh profesinya – mereka berharap Lembaga Independen — Dewan Pers, dapat menjadi garda netral dan independen dalam membangkitkan kembali roh jurnalis yang nyaris tercabik-cabik setelah menyaksikan gontok-gontokan antara Ketua Umum Kembar PWI Pusat.
Menyadari profsi jurnalis yang akhir-akhir nyaris sirna dan dilirik sebelah mata oleh sekelompok masyarakat yang justru lebih percaya pada informasi yang beraroma hoax — setelah mengguritanya media sosial atau sosmed — sekarang muncul lagi setan gundul atau genderuwo yang merusak profesi jurnalis. Sejumlah jurnalis yang masih memiliki kepekaan atau hati nurani – masih berharap Dewan Pers menjadi jembatan atau penyejuk agar hiruk-pikuk para sempalan jurnalis di ranah profesinya untuk kembali tersadar bahwa profesi jurnalis itu, menjadi soko guru mencerdaskan anak bangsa. Apalagi, sebagai Pilar Keempat dalam Demokrasi, Pers dalam hal ini jurnalis– dituntut memberikan pencerahan yang hakiki, bukan menjadi provokator dengan menyemprotkan berita-berita hoax.
Gonjang-ganjing dan saling berebut pengaruh yang pada muara akhirnya — haus kekuasaan tanpa menggunakan akal sehat (common sense). Padahal Fungsi Pers sebagai media pendidikan sebagaimana yang tercantum pada ayat 2 UU No 40 Tahun 1999 adalah bahwa Pers sebagai media pendidikan ini mencakup semua sektor kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Dalam konteks ini, pers juga punya tanggung jawab terkait pendidikan politik kepada publik. Melalui fungsi pendidikan itu, pers (media cetak, elektronik, daring) — lewat produk jurnalistiknya bisa berperan dalam rangka mencerdaskan masyarakat dari sisi edukasi politik.
Kesantunan dalam menyampaikan kritik dan selalu berusaha untuk memberikan ruang bagi para pihak dalam mengemukakan kebenaran. Indonesia masih membutuhkan jurnalis atau wartawan dengan integritas tinggi yang menjadi suluh bagi para pengambil keputusan maupun masyarakat umum sehingga bisa bersikap jernih dalam menyikapi beragam isu, Jika ini yang menjadi panduan, mengapa sesama jurnalis saling gontok-gontokan hanya karena haus posisi jabatan atau kekuasaan?
Tulsan singkat ini, bukan bertendensi untuk memvonis satu kelompok Ketua Umum PWI Hasil Kongres Bandung yang benar atau salah. Begitu juga dengan Kelompok Ketua Umum PWI Pusat Hasil KLB di Jakarta salah atau benar. Penulis hanya ingin, menggugah secara hati nurani untuk berfikir jernih – bahwa profesi jurnalis itu sangat dibutuhkan masyarakat sebagai tempat mencari kebenaran yang hakiki. Kalau ini sudah hilang, bagaimana masyarakat percaya dengan pesan yang disampaikan para jurnalis dengan hati bersih.
Eksistensi jurnalis seperti yang disampaikan mantan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas almarhum Jacob Oetama — ditentukan oleh muatan isi dan ketajaman berfikir seorang jurnalis. Keterampilan seorang jurnalis dalam menyampaikan pesan melalui media pers – ditunggu oleh masyarakat. Sedangkan muatan isi, jurnalisme yang bisa memberi makna. Bukan sekadar sisi kecepatan, kedalaman, keakuratan tetapi juga makna yang melingkupinya.
Para kolega yang sekarang saling bersiteru — mengatakan pihaknya yang paling benar—sudah sepatutnya berkaca pada Kode Etik Jurnalistik yang merupakan kunci produk seorang jurnalis untuk berkarya melalui media massa, media siber, atau media elektronik agar tetap menggunakan Kode Etik tersebut sebagai pegangan moral dalam berkarya sehingga karyanya tetap diminati di tengah gempuran konten sentimen yang dihasilkan oleh media sosial.
Ingat, jurnalis atau wartawan dalam menjakankan profesinya harus mematuhi Kode Etik Jurnalistik, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta peraturan perundang-undangan lain yang bersentuhan dengan kewartawanan.
Jika tetap berada di rel KEJ, bahwa wartawan Indonesia bersikap independent –dalam memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers – maka sesama jurnalis tidak perlu saling bermusuhan dalam merebut kursi Ketua Umum PWI Pusat.
*Jurnalis Senior dan Penguji Kompetensi Wartawan Dewan Pers
Editor: Jufri Alkatiri