Pameran yang Memupuk Cinta

Oleh: Renville Almatsier*

Minggu lalu saya mengunjungi sebuah pameran yang diselenggarakan dalam  kaitan Hari Ulang Tahun Harian Kompas yang ke-60. Berlangsung di Bentara Budaya, Jakarta, pameran jurnalistik itu bertema Mewarisi Masa Lalu, Membentuk Masa Depan. Pameran digagas untuk menyatakan kembali bahwa kesadaran budaya bukan sekedar warisan masa lalu melainkan juga jalan masa depan.

Ternyata betul, peragaan itu bukan sekedar menampilkan puluhan foto apik karya fotografer Kompas. Selain keunikan objeknya, foto-foto berukuran besar itu berbicara tentang kekayaan budaya tanah air kita. Seperti ditulis Hilmar Faiq, kurator pameran, pada papan menyambut pengunjung, Indonesia tidak sedang mencari identitas tetapi sedang merawatnya. Dari tanah ini dunia dapat belajar bahwa kebudayaan bukan sekedar ornamen, melainkan juga fondasi untuk bertahan, bertumbuh dan berbagi harapan bersama umat manusia.

Misi penting dari penemuan bersejarah tidak sebatas membuktikan keunggulan sebuah peradaban. Tetapi juga untuk memperoleh pengetahuan seni, religi, budaya dan teknologi dari masa pembangunannya. Selain itu juga, mempelajari dan mengambil rumusan pentingnya bagi kemajuan umat manusia di masa ini dan masa depan. Itulah kekayaan kita yang tak kita sadari selama ini.

Lebih dari itu, buat saya, menonton pameran tadi betul-betul menggugah kembali rasa cinta tanah air. Banyak hal yang baru saya ketahui.  Tidak saya duga bahwa tanah air kita ini ternyata sangat berjasa kepada dunia, kepada umat manusia.

Di pameran ini kita melihat siapa kita, dari mana asal kita dan ke mana kita ingin menuju. Keanekaragaman Indonesia yang melampaui jumlah suku dan bahasa, telah ikut menyumbang pada peradaban dunia. Kepada dunia, budaya kita tidak sekedar ada tetapi juga mengajarkan cara hidup yang tumbuh, berbeda tetapi saling terhubung.

Mula-mula pengunjung pameran dibawa ke salah sudut tanah air. Di Maros, Sulawesi Selatan, terdapat gua batu Leang Timpuseng yang menyimpan seni purba lukisan. Ini adalah  penemuan Arkeologi paling penting di dunia yang berusia 40.000 tahun. Di wilayah itu terdapat lebih 200 gua karst yang sudah teridentifikasi. Batu bertulis, bahkan sekedar jejak tangan dan kaki di dinding batu menjadi pengingat bahwa pada suatu masa yang sudah lama lewat, pernah hidup manusia nenek moyang kita.

Usia peradaban manusia di Nusantara rupanya sangat tua. Saya pernah membaca informasi di Kompas, sayang tanggalnya sudah lupa, bahwa uji genetika pernah dilakukan Herawati Sudoyo, antropolog forensik Biomolekuler Eijkman Institute tentang leluhur bangsa Indonesia. Wilayah Nusantara sudah berpenghuni sejak 60.000 tahun lalu.

Masih di daerah Sulawesi Selatan ini, di Rammang-Rammang, ada lagi bentang alam karst yang scenic-nya mirip dengan Grand Canyon di Colorado. Meski dua-duanya belum pernah saya lihat langsung, berdasarkan gambar dan foto, saya bisa bilang, bahwa kita punya tidak kalah menakjubkan dengan yang di luar sana. Wilayah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung diketahui menyimpan kekayaan sejarah dan Arkeologi.

Beralih ke sudut berikut. Di tengah belantara Jambi tersimpan sisa peradaban Sriwijaya yang membentuk lanskap intelektual dan spiritual kawasan Asia Tenggara. Muara Jambi warisan peradaban besar lebih dari sekedar situs, melainkan juga ruang belajar menimba ilmu dan menimbulkan kembali nilai-nilai lama.

Adalagi warisan leluhur yang mencerminkan kearifan lokal. Sistem Subak yang dikenal di Bali mengajarkan cara mengelola air dan menjaga keseimbangan ekosistem. Ini membuktikan bahwa kearifan lokal tidak lahir dari teknologi tinggi tetapi dari pengalaman panjang memahami ritme bumi.

Di sudut lain di pajang foto berbagai wastra seperti tenun, songket, dan batik lasem. Semua seolah menyimpan narasi yang teranyam dalam benang halus warna-warni simbolik. Kain-kain ini mengandung makna tentang dunia spiritual, status sosial, serta relasi jender dalam masyarakat kita.

Pengunjung kemudian diajak mendalami gastronomi yang dikelola komunitas, yang ternyata juga merupakan cerminan pengetahuan ekologis masyarakat. Rasanya tidak ada warga Indonesia yang tidak doyan rendang. Makanan khas ini bahkan diakui sebagai makanan terpopuler di dunia. Dalam keluarga saya, sejak generasi ibu berpulang, rendang sudah makin jarang dibuat sendiri, karena kerepotannya. Ternyata dalam masakan tradisional yang terbuat dari daging dan santan itu, terkandung filosofi yang dalam.

Rendang menyampaikan filosofi hidup  yang berlapis kesabaran, kebersamaan, dan ketekunan. Melalui cara memasak masyarakat Minangkabau mengajarkan bahwa nilai seringkali tersimpan dalam berbagi, proses bukan hasil semata. Kini jenis kuliner itu — bahkan menjadi penghubung emosional bagi Diaspora dan simbol diplomasi kultural yang memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Bahkan, makan bersama yang di Minang masih diterapkan ada acara-acara adat, yang dikenal sebagai makan bajamba, mengandung filosofi memupuk silaturahmi, melambangkan kebersamaan, gotong royong dan kesetaraan, tanpa memandang status sosial.

Tiba di masa sekarang. Pulang dari pameran ini saya diingatkan — selama ini  cinta tanah air secara rutin terasa di kalbu pada saat-saat kita  memperingati ulang tahun kemerdekaan, sementara sehari-hari kita malah muak akibat kelakuan  pejabat, wakil rakyat yang menggerogoti kekayaan tanah air. Pameran sederhana itu, makin memupuk cinta saya pada tanah air menjadi bertambah tebal. (*)

*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo

  Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *