Oleh: Kurniawan Zulkarnain*
Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin menjabat Menteri Keuangan Indonesia pada dua periode di awal kemerdekaan yaitu pada Kabinet Sjahrir III, dari 2 Oktober 1946 hingga 26 Juni 1947. Pada Republik Indonesia Serikat (RIS), Syafruddin kembali menjadi Menteri Keuangan dari 20 Desember 1949 hingga sekitar 6 September 1950, ketika kabinet dipimpin oleh Mohammad Hatta (Kabinet Hatta II atau kabinet RIS). Sebagai Menteri Keuangan (1946–1947), Syafruddin mengusulkan dan melaksanakan penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 30 Oktober 1946, sebagai simbol kedaulatan serta instrumen pendanaan revolusi.
Untuk mengatasi inflasi, pada 10 Maret 1950 Syafruddin memerintahkan agar uang Belanda (NICA dan De Javasche Bank) pecahan di atas 5 gulden dipotong menjadi dua yang kemudian dikenal dengan Gunting Syafruddin. Setengah bagian jadi alat tukar, separuh lagi dikonversi ke obligasi pemerintah 30 tahun berbunga 3persen. Langkah ini berhasil memangkas suplai uang sebanyak 41 persen dan mengurangi uang beredar serta menyehatkan keuangan Negara pasca revolusi. Kebijakan ini dapat menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia yang kala itu defisit berat.
Syafruddin diangkat sebagai Presiden De Javasche Bank (DJB) tahun 1951, menjelang nasionalisasi. Setelah DJB diubah menjadi Bank Indonesia (BI), Syafruddin menjadi Gubernur BI pertama tahun 1953-1958. Langkahnya menerapkan cadangan wajib sebesar 20 persen atas uang beredar dan mempertahankan fungsi bank sentral moneter dalam keadaan ketat. Syafruddin menetapkan BI sebagai bank sirkulasi dan lembaga pengendali moneter dan menegakkan independensi BI serta menekankan fungsinya sebagai pengendali stabilitas moneter, bukan alat politik pemerintah. Syafruddin mengendalikan jumlah uang beredar agar inflasi terkendali guna menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah setelah masa pergantian mata uang kolonial.
Syafruddin, tidak hanya mengembangkan pemikiran implementatif dalam bentuk kebijakan ekonomi selama di Pemerintahan, tetapi juga menjadi pionir dalam pemikiran ekonomi Islam (atau ekonomi syariah) di awal Kemerdekaan. Pemikirannya pertama kali muncul lewat artikel Motif Ekonomi diukur menurut Hukum-Hukum Islam yang diterbitkan dalam majalah Suara Partai Masyumi pada Maret–April 1951. Syafruddin menolak pemisahan Islam dari ekonomi dan mengkritik praktik eksploitasi dan monopoli sebagai bentuk riba. Dalam Islam, pasar harus dijauhkan dari kecurangan, spekulasi, dan monopoli.
Pembangunan akhlak di atas ekonomi harus diawali dengan pembangunan moral (akhlak) agar masyarakat tidak rentan pada korupsi dan penyimpangan. Pendidikan moral dan gotong royong dianggap sangat penting. Pandangan terhadap bunga Bank, Syafruddin tidak menggolongkan bunga bank sebagai riba, karena bunga tersebut dianggap wajar dan mengambil risiko. Dia menentang monopoli penyelenggaraan haji, yang dianggap melebihi batas wajar dan termasuk riba dalam perspektifnya. Syafruddin mengkritik kapitalisme yang menimbulkan kesenjangan dan sosialisme-komunisme yang mengabaikan hak individu.
Syafruddin mendukung keterlibatan negara dan modal asing secara moderat untuk percepatan pembangunan, namun menolak nasionalisasi agresif, mengingat keterbatasan sumber daya manusia profesional saat itu. Dia juga menolak ketergantungan pada modal asing tanpa proteksi terhadap modal dan tenaga nasional. Syafruddin mendorong pemerataan kekayaan serta pembangunan sektor dalam negeri dengan prinsip keadilan sosial. Menurutnya, struktur ekonomi nasional idealnya meliputi koperasi (sesuai UUD 1945 Pasal 33), BUMN untuk kebutuhan rakyat, serta swasta yang mengisi sektor yang belum terlayani oleh keduanya.
Pandangan para Ahli terhadap Pemikiran Syafruddin
Boediono (Mantan Wakil Presiden & ekonom UGM) menilai Gunting Syafruddin sebagai kebijakan moneter yang sangat berani dalam situasi krisis. Kebijakan ini berhasil mengurangi uang beredar sekitar separuhnya, sehingga inflasi vvdapat ditekan. Boediono menyebut langkah ini menunjukkanv kejelian Syafruddin membaca kondisi ekonomi saat itu, meski secara politis kurang populer. Sedangkan, M. Dawam Rahardjo (Ekonom dan Cendekiawan Muslim) menganggap Syafruddin sebagai pemikir Islam moderen yang menekankan keadilan sosial dan ekonomi. Melihatnya sebagai tokoh yang berusaha menjembatani Islam, demokrasi, dan pembangunan ekonomi.
Deliar Noer (Sejarawan & Ilmuwan Politik), melihat kebijakan Gunting Syafruddin dalam kerangka kepemimpinan Syafruddin yang tegas.Dia menekankan bahwa keberanian Syafruddin menunjukkan dedikasi untuk kepentingan nasional di atas kepentingan golongan. Deliar Noer menilai bahwa Gunting Syafruddin merupakan “obat pahit” yang harus diminum rakyat demi masa depan ekonomi Indonesia. Ahli lainya, Taufik Abdullah (Sejarawan LIPI) memandang Syafruddin sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau partai. Menggambarkan sikap Syafruddin sebagai moderat–tidak ekstrem kiri atau kanan, melainkan pragmatis dan rasional.
Sejarawan Barat, Herbert Feith melihat Syafruddin sebagai representasi kelompok administrator rasional yang menekankan stabilitas dan manajemen negara modeern. Sedangkan George Kahin menilai peran PDRI di bawah Syafruddin san gat krusial dalam mempertahankan eksistensi Republik di mata dunia internasional, khususnya saat diplomasi di PBB berlangsung. J. D. Legge (Sejarawan Australia), menilai Gunting Syafruddin sebagai salah satu keputusan moneter paling efektif dalam sejarah Indonesia awal. Dia menekankan bahwa meskipun banyak ditentang, kebijakan ini memperbaiki keuangan negara dan menyiapkan fondasi bagi stabilitas ekonomi pasca pengakuan kedaulatan.
Syafruddin Prawiranegara meninggalkan warisan ganda bagi Indonesia, warisan kelembagaan memastikan RI tetap hidup melalui PDRI dan meletakkan kebijakan ekonomi awal. Warisan lainya adalah karya intelektual berupa integritas, kesederhanaan, dan pandangan Islam yang moderat dalam kehidupan berbangsa. Dengan demikian, Syafruddin Prawiranegara dikenang bukan hanya sebagai “penjaga nyawa Republik”, tetapi juga sebagai negarawan bersih yang meletakkan dasar etis dan ekonomis bagi Indonesia merdeka. Kedua warisan tersebut merupakan landasan berharga bagi para birokrat dan rakyat Indonesia pada Era Modeern ini. Wallahu ‘Alam Bi Sowab. (Habis)
*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat
Editor: Jufri Alkatiri