Renungan Idul Adha: Mengenang Bapak Para Nabi

Oleh: Anwar Rosyid  Soediro*

Cikal Bakal Agama Tawhid

Shirathal Mustaqim, Jalan yang lurus merupakan do’a  dalam surat al-Fatehah yang dibaca dalam setiap shalat secara nyata (factual) jalan itu ya telah dicontohkan (dijalani) oleh orang-orang terdahulu (shirathaladzina an’amta ‘alaihim). Katakanlah: “Sesungguhnya aku (dan umat manusia) telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama (jalan) Nabi Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik“.

Milah (jalan/agama) Ibrahim ini menjadi dasar pemikiran melakukan ibadah haji dengan menelusuri tapak tilas jalan Nabi Ibrahim sebagai bapak monoteisme (tawhid) dan bapak para Nabi. Mengesakan Tuhan  dengan  berserah diri pasrah total hanya kepada Allah dan menolak selain-Nya; Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).  Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. (al-an’am [6] : 161-164).

Hal ini juga yang mendasari para pendiri bangsa ini (bangsa Indonesia), meletakkan monoteisme pada sila pertama “Ketuhanan yang maha Esa”. Para pendiri bangsa paham bahwa agama fitrah (nature) atau agama yang asli sejak awal manuisia diciptakan adalah tawhid yakni; agama yang  hanya beriman kepada Tuhan yang Maha Esa.

Wilhelm Schmidt dalam karyanya The Origin of the Idea of God yang terbit pertama tahun 1912, mengatakan bahwa telah ada suatu monotheisme primitif  sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Pengikutnya berhubungan dengan Tuhan melalui do’a, mempercayai Tuhan yang mengawasi dan menghukum tiap dosa. Namun Tuhan tidak hadir dalam kehidupan keseharian. Akhirnya Tuhan digantikan oleh kepercayaan kepada ruh-ruh yang lebih rendah dan tuhan-tuhan yang lebih mudah dijangkau oleh akal pikiran. Tuhan tertinggi digantikan olah tuhan-tuhan kuil pagan yang lebih menarik.

Karen Amstrong mengomentari uraian Wilhelm Schmid; pada awalnya manusia percaya hanya pada satu Tuhan. Ini menunjukkan bahwa Tuhan Maha Esa (monotheisme) merupakan salah satu ide tertua yang dikembangkan oleh umat manusia untuk menjelaskan misteri dan tragedi kehidupan.

Keyakinan orang Jawa kepada agama Kapitayan yang jauh ada sebelum pengaruh agama-agama besar seperti Hindu dan Buddha menyentuh tanah Jawa, Kapitayan telah mengajarkan konsep monotheisme kepada masyarakat Jawa.

Dalam keyakinan ini, Sang Hyang Tunggal, atau Tuhan Yang Maha Esa, adalah sumber dari segala ciptaan. Ia adalah Dzat yang Maha Kuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang.  Konsep monotheisme Jawa dalam Kapitayan tidak hanya sebatas pengakuan akan adanya satu Tuhan, tetapi juga mencakup pemahaman akan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta.

Manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk mencapai kesempurnaan spiritual melalui pengabdian dan penyerahan diri kepada Tuhan. Jadi tidak salah kalau Pancasila, sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, digali dari bumi pertiwi karena agama masyarakat Jawa zaman purba adalah agama monoteisme.

Monoteisme  Nabi Ibrahim

Dalam diri Ibrahim tampak jelas wujud karakter manusia bertauhid beliau senang memberi pertolongan kepada semua makhluk, akan tetapi  Ibrahim hanya meminta pertolongan kepada Sang Khalik “Allah Yang Mahakuasa menunjuk Ibrahim sebagai sahabat-Nya (khalilullah) karena dia tidak menampik permintaan siapa pun dan dia sendiri tidak pernah meminta kepada siapa pun kecuali Allah.” (QS. an-Nissa [4]: 125).

Nabi Ibrahim menentang Politeisme, Paganisme, Idolatry, dan Kebodohan, Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami? (QS. Al-Ambiyaa [21]: 66-67)

Dalam al-Qur’an dijelaskan  bahwa Ibrahim bersyahadah bahwa Allah, satu-satunya Yang Wajib di ibadahi secara turun-temurun;  “LAA ILAAHA ILLALLAH”. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. (QS al-Baqarah [2]: 131)

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS al-Baqarah [2]: 32)

Nabi Ibrahim yang Futuristik

Nabi Ibrahim berpandangan ke depan terhadap dzuriatnya (anaka-cu keturunannya) menjadi generasi penerus yang mengabadikan kalimat tawhid (bawiyatu shalihah), tercermin dalam perilaku mencetak generasi penerusnya dan do’anya bagi generasi mendatang sehingga dikenal sebagai Bapak para Nabi;

 “…Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala. (QS. Ibrahim ayat 35);  Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim ayat 40); “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang sholeh.”  (QS. Ash-Shafaat ayat 100); “…Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala.” (QS. Al-Baqarah ayat 126)

Hasil  usaha pendidikan dan Do’a Nabi Ibrahim terealisasi dengan, menjadikan kota Makah menjadi negeri aman, dan menurunkan anak dan cucu (dzuriat) menjadi penerus kenabian Nabi Ibrahim, yang diangkat menjadi nabi adalah Nabi Ismail (AS) dan Nabi Ishaq (AS).

Nabi Ismail (AS) adalah putra pertama Nabi Ibrahim  yang diangkat menjadi nabi dan rasul ke-8 dalam urutan nabi-nabi. Nabi Ishaq (AS) juga adalah putra Nabi Ibrahim (AS) dan salah satu dari leluhur Nabi-nabi dari kaum Bani Israil. Selain itu, Nabi Yakub (AS) juga merupakan nabi dan merupakan salah satu keturunan Nabi Ishaq (AS). Nabi Yusuf (AS) juga merupakan keturunan Nabi Yakub (AS) dan juga diangkat menjadi nabi. Wa’Allahu a’lam

*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM  Yogyakarta

  Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *