Gelar Haji di Indonesia

Oleh: Prof. Dr. Murodi al-Batawi, MA*

Pagi ini, 17 Juni 2022 — saya memberikan penjelasan tentang Sejarah Haji di Nusantara hingga saat ini, di salah satu TV swasta.  Bagaimana sejarah perjalanan Haji sejak awal pertama kali ada orang Indonesia yang melaksanakan ibadah haji, hingga haji dijadikan sebagai identitas diri bagi Muslim Nusantara.

Saking banyaknya muslim Indonesia yang ingin berangkat naik haji, pemerintah Hindia Belanda mengatur kebijakan perjalanan Haji, dengan mengeluarkan Ordonantie voor Vilgrimage pada 1925. Mereka khawatir terhadap banyaknya jumlah jama’ah calon haji Indonesia. Kekhawatiran itu semakin menjadi, karena Belanda juga tahu bahwa Haji adalah Mu’tamar umat Islam sedunia. Para jama’ah bertemu dengan para jama’ah lainnya dari berbagai negara muslim lainnya. Mereka selalu bertukar informasi tentang negara mereka.

Diketahui bahwa abad ke-18, ke-19, dan abad ke-20 — semua negara Muslim berada dalam cengkeraman penjajah Barat Kristen. Di Haramain, jama’ah haji Indonesia, bertemu dan berdiskusi bagaimana caranya mereka bisa membebaskan negaranya dari bangsa Barat Kristen itu.

Saat itu, gerakan perlawanan sudah banyak dilakukan, tetapi selalu tidak berhasil. Akhirnya  mereka sangat setuju ideologi Pan-Islamisme Jamaluddin al- Afghani. Ideologi inilah yang sangat ditakuti oleh Belanda di Indonesia. Karena, setelah mereka kembali dan menerapkan ideologi Pan-Islamisme di Hindia Belanda, banyak terjadi pemberontakan melawan pemerintah Hindia Belanda, dan itu banyak dimotori oleh para haji. Seperti pemberontakan Petani Banten 1888 M yang dimotori oleh Syaikh H. Abdul Karim, pimpinan Tarekat Qadiriya wa Naqayabandiyah.

Karena itu, pemerintah Hindia Belanda mendata para jama’ah  haji yang baru pulang, dengan memberikan identitas Haji di depan nama mereka. Tujuannya, antara lain, untuk mempermudah menciduk siapa saja pemberontak dan provokator pemberontakan yang terjadi. Itulah awal mengapa di depan setiap nama yang sudah berhaji, disematkan di depan nama seseorang. Wallahua’lam.  (*)

*Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengamat Sosial Kemasyarakatan

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *