Menulis Ulang Sejarah Bangsa

Oleh: Renville Almatsier*

Apakah benar tidak terjadi pemerkosaan massal terhadap warga Etnis Tionghoa pada huru-hara 1998? Apakah benar terjadi mutilasi pada jenazah para Jenderal di Lubang Buaya,  Jakarta Timur,  pada dini hari 1 Oktober 1965?

Itu hanya sebagian dari cerita yang sudah lama beredar tetapi tanpa pembahasan tuntas sehingga setelah berpuluh tahun masih tetap samar-samar diketahui masyarakat. Sebenarnya banyak lagi kisah yang menjadi rahasia umum, yang menuntut kejelasan bila kita ingin benar-benar mengungkap jalannya sejarah bangsa ini.

Kita dapat memahami adanya aspek-aspek tertentu dari peristiwa-peristiwa sejarah yang belum atau tidak bisa diungkapkan pada saatnya. Berbagai faktor masih perlu diperhitungkan. Bisa faktor politis, bisa pula psikologis, yang mungkin juga tidak bisa dipisahkan dari latar belakang kultural. Mungkin juga banyak manusia masih takut pada kejujuran. Inilah drama, belum selesai dari perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran.

Seperti kata sejarawan terkenal Hans Kohn, sejarah adalah sesuatu yang tidak bisa dipahami tanpa pengalaman, “history is something which cannot be understood without experience”. Setiap kali sejarah memang perlu ditinjau kembali, disempurnakan, karena munculnya bahan-bahan baru. Hal ini saya kaitkan dengan rencana (yang kini sudah berjalan) Pemerintah atas prakarsa Menteri Kebudayaan Fadli Zon, untuk menulis ulang buku sejarah.

Banyak orang biasa atau tokoh penting kita, dengan pengalaman dan pengetahuan sangat luas dan mendalam, terlibat atau jadi saksi dalam berbagai peristiwa bersejarah. Ada yang tahu terlalu banyak, termasuk mengenai latar belakang peristiwa-peristiwa yang menurut pendapat mereka belum dapat diutarakan — karena itu wajar bila kita mengharapkan siapa saja, terutama para tokoh yang mengetahui  mendalam peristiwa-peristiwa penting, sudah saatnya memasyarakatkan pengetahuan mereka itu.

Banyak penelitian telah dilakukan. Banyak pengalaman pribadi yang telah dituangkan menjadi tulisan atau disajikan menjadi cerita — dan banyak pula  peristiwa nyata diadaptasi dalam bentuk karya sastra yang walaupun berbentuk fiksi, sebenarnya merupakan pengalaman penulisnya atau menjadi dasar munculnya ide penulisan. Dalam hal ini, data-data itu bisa melengkapi perjalanan sejarah. Adalah tugas penulis sejarah untuk mengumpulkan semua fakta atau data yang muncul itu dan mengkompilasinya menjadi penulisan sejarah untuk diketahui oleh generasi penerus.

Peneliti sejarah Anhar Gonggong, misalnya, pernah mengungkap beberapa hal yang tidak jelas seputar masa awal usia republik ini, termasuk ketika hasil Konperensi Medja Bundar (KMB) mengubah bentuk negara menjadi federal, Republik Indonesia Serikat (Kompas, 13/1/00). Pakar sejarah Deliar Noer pernah mengungkap tentang peristiwa tiga peralihan kekuasaan dalam negara: 1945, 1966, 1998 yang masing-masing meninggalkan ketidak-jelasan latar belakangnya (Kompas, 8/7/98).

Bila ingin menelusuri lebih jauh — sekalian saja, mari kita luruskan sejarah perjuangan bangsa.  Apa dasar perjuangan pahlawan nasional Pangeran Diponegoro yang memberontak melawan penjajah Belanda di tahun 1825? Atau, Tuanku Imam Bonjol di tahun 1803? Apakah betul R.A Kartini — wanita pertama yang memperjuangkan emansipasi wanita? Apa yang dilakukan oleh Tan Malaka sehingga hingga kini dia terombang-ambing antara dianggap pahlawan atau pecundang? Apa sebenarnya tuntutan “pemberontak” PRRI/Permesta?

Di kurun waktu yang relatif dekat, sementara beberapa saksi masih hidup, betulkah seperti pembelaan Kolonel Latief di pengadilan, bahwa Soeharto sudah mendapat info menjelang pecahnya peristiwa G30S? Lalu apa sebenarnya yang terjadi sehingga Soeharto bersedia lengser dari kursinya pada tanggal 21 Mei 1998?

Masa lalu dan masa kini merupakan suatu kesatuan arus. Malah kita bisa mengatakan masa kini mengandung masa lalu, dan manusia adalah warisan abad-abad yang telah lewat. Memang diperlukan usaha besar dengan bantuan semua pihak untuk menjadikan masa lalu bagian masa kini, dan menjadikan masa kini sebagai modal untuk memahami masa lampau.

History is written by the winners”, kata Winston Churchill. Kini, siapa yang merasa jadi pemenang? Mudah-mudahan Menbud Fadli Zon (beserta timnya) berdiri di tengah dan jujur — bisa menuliskan fakta-fakta ini. Sekali lagi, demi masa depan bangsa… tell the truth, the whole truth.

*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo

 Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *