Renungan Malem Jemuwah: Ilmu Kalam (bag-3)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

Dalam Iftitah ini, penulis memberikan pengantar yang mendasar yang perlu digaris bawahi tentang adanya perubahan orientasi keilmuan Kalam. Dimana Ilmu Kalam masa lampau, diskursusnya hanya berkutat pada persoalan Tuhan, rasul, iman, dan kafir dan sebagainya yang memang merupakan kebutuhan dan tuntutan zaman waktu itu.

Saat itu ilmu Kalam (Aqidah) sedang merasa terancam karena bertemu dengan berbagai aliran, paham, agama, dan budaya lain,sehingga dirasa perlu ada pembelaan dan penjelasan rasional yang bisa membentenginya.  Sekarang, dalam konteks kekinian, problema yang dihadapi umat Islam khususnya dalam pemikiran Kalam telah berbeda, bukan lagi Metafisika tetapi kenyataan kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, bangunan keilmuan Kalam ini, mesti harus lebih ditekankan pada pembahasan yang berorientasi kepada kesadaran manusia sebagai makhluk yang berdaya dalam melakukan perubahan.

Dalam konteks ini, sudah saatnya, pemikiran Kalam menjadikan isu-isu kekinian yang berkembang dalam realitas sosiologis seperti humanisme universal, pluralisme keagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, hak asasi manusia, dan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, sebagai bagian tak terpisahkan dari pemikiran kalam dalam konteks kekinian.

Dimana persoalan-persoalan kemanusiaan (Antropologi) selayaknya ditempatkan sebagai persoalan yang lebih penting untuk ditelaah dan dikaji, ketimbang persoalan-persoalan klasik ketuhanan semata. Dengan demikian paradigma baru pemikiran Kalam dalam konteks kekinian lebih diorientasikan untuk menjawab problema-problema kemanusiaan kontemporer, serta mampu merespons dan memberikan solusi terhadap isu-isu kekinian, ketimbang mereproduksi pokok-pokok bahasan kalam klasik, yang hanya repot membela aspek ketuhanan yang transenden-spekulatif. Hal ini tentunya yang paling mendasar yang ingin dicapai, yang diharapkan akan menjadi bagian dari kesadaran dalam pemikiran kalam dalam konteks kekinian.

Salah satu terminologi Ilmu Kalam adalah Tauhid yang berasal dari  bahasa Arab. Tauhid adalah kata kerja transitif; artinya menyatukan (sesuatu) atau menyatukan sesuatu. Dalam konteks keyakinan dan praktik Islam, Tauhid berarti mengakui keesaan dan keunikan Tuhan dan merupakan prinsip inti yang mendefinisikan Islam.

Umat Muslim membuktikan Tauhid melalui berbagai kegiatan teologis, ritual, dan komunal. Ketika seseorang memeluk Islam sebagai agamanya, mereka mengucapkan syahadat dan dengan demikian menyatakan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah”. Pengakuan ini merupakan penegasan verbal atas Tauhid. Ketika umat Islam melafalkan shalat setiap hari, yang di dalamnya mereka menyatakan bahwa “Allah Maha Besar” (Allahu Akbar), melafalkan surah-surah Al-Qur’an seperti Surat Al-Fatihah (al-Fatihah) dan Surat Al-Ikhlas (al-Ikhlas), dan berserah diri kepada Allah melalui ruku’ dan sujud sejatinya mereka mewujudkan Tauhid.

Teks-teks dan Akidah Teologis Islam mewajibkan umat Islam untuk secara intelektual menyetujui rukun iman tertentu (‘aqāʾid al-imān); keyakinan terpenting dari akidah ini adalah Tauhid, yang mencakup sejumlah posisi teologis mengenai keberadaan, sifat, dan hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya.

Upaya umat Islam untuk menghiasi jiwa manusia dengan kebajikan spiritual melalui kehidupan etis, sebuah praktik yang dipahami umat beriman sebagai perwujudan sifat-sifat karakter ilahi (akhlāq ilāhīya), merupakan upaya untuk merefleksikan tauhid secara spiritual dengan mengintegrasikan jiwa manusia dengan Nama-nama Ilahi. Tauhid adalah benang merah yang mengikat dan meresapi keseluruhan keyakinan, ritual, hukum, pemerintahan, dan kehidupan spiritual umat Islam. Meskipun sentral dalam kehidupan keagamaan dan politik umat Islam, tauhid juga merupakan doktrin Islam yang paling diperdebatkan.

Umat Islam telah terlibat dalam empat belas abad perdebatan intelektual dan polemik mengenai makna sejati Tauhid. Perbedaan klaim kebenaran tentang hakikat esensi, atribut, tindakan, dan hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya telah memecah umat Islam ke dalam berbagai mazhab pemikiran teologis, kredo (akidah), filosofis, dan mistik (Tasawuf).

Perbedaan pendapat teologis tertentu telah berdampak pada gagasan ortopraksi (penekanan pada praktik atau perilaku yang benar, baik secara etis maupun Liturgis, sebagai bentuk pengamalan atau manifestasi dari keyakinan atau ajaran) hingga zaman modern sekarang.

Dalam tulisan ini, mengajak pembaca meninjau beberapa posisi Teologis utama Islam tentang Tauhid dengan fokus pada esensi, sifat, dan tindakan Tuhan. Dengan demikian, tulisan ini secara luas mengeksplorasi keragaman denominasi (mazhab) Islam, termasuk berbagai mazhab Sunni, Sufi, dan Syiah, baik dari periode klasik maupun moderen. (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *