Ditunggu, “Potong Kepala Sampai  Buntut” Polri

Oleh: Renville Almatsier*

Kalau sekarang muncul dan rame lagi tuntutan untuk pembenahan Korps Kepolisian, itu sebenarnya bukan hal baru. Bukan juga lantaran kerusuhan yang terjadi Agustus lalu. Desakan itu sudah lama ada. Sekalipun menurut jajak pendapat Litbang Kompas tahun 2020, masyarakat secara umum masih memandang baik citra kepolisian (Kompas, 1 Juli 2020) sebenarnya masyarakat, terutama yang di kalangan menengah-bawah, sudah sangat menderita oleh  ketidakberesan Polri.

Kepercayaan publik sudah lama anjlok. Sehingga lahir ujaran “kalau tidak perlu sekali, tidak usahlah melapor kejadian apapun kepada Polisi. Nanti malah tambah ribet. Alih-alih memberi rasa aman, berjumpa atau berada dekat Polisi, kita malah takut dan dag-dig-dug.

Kita juga masih ingat janji Kapolri Listyo Sigit Prabowo. “Ikan busuk mulai dari kepala. Kalau tidak bisa kita perbaiki, ya, kita potong kepalanya”. Pernyataan itu muncul saat terjadinya kasus kekerasan seksual di Sulawesi Selatan (1920) yang menyebabkan tujuh petinggi Polri dicopot.

Kata-kata itu diulanginya ketika terjadi  peristiwa Sambo di tahun 2022 (Kompas, 9 September 2022). Terkait peristiwa itu ada empat Polisi diberhentikan tidak dengan hormat melalui putusan sidang etik. Masih banyak pertanyaan terkait kasus ini, namun tidak semua dibongkar. Sama seperti kasus Polisi gendut yanghilang tak berbekas. Lalu ada pula Kapolda yang menjadi otak penyelundupan narkoba. Itu contoh  kepala ikan  semua. Oleh Jenderal Listyo kasus-kasus  itu disebutnya akan menjadi momentum bagi Polri untuk berbenah.Tetapi, setelah itu, lama kita tunggu pembenahan yang dijanjikan tidak juga terjadi.

Menurut pengamat kepolisian Bambang Widodo Umat yang mengutip Maurice Punch dalam bukunya Police Organization (1985), korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi.

Korupsi oleh Polisi telah merambah baik di bidang operasional maupun pembinaan. Ada korupsi internal, ada pula korupsi eksternal. Korupsi internal dilakukan petugas tanpa melibatkan masyarakat. Korupsi ini menyangkut kepentingan pelaku di lingkup kedinasan, tidak menyentuh langsung kepentingan publik. Contohnya adalah korupsi jual beli jabatan, korupsi dalam penerimaan anggota Polisi, seleksi masuk pendidikan, serta korupsi dalam pendistribusian logistik dan penyaluran dana keuangan. Kita belum lupa peristiwa korupsi di Korlantas (2016) ketika dua jenderal bintang-tiga terlibat penggelapan Simulator SIM.

Korupsi eksternal merupakan korupsi yang melibatkan kepentingan masyarakat secara langsung. Masyarakat yang dimaksud adalah mereka yang terlibat atau berurusan dengan polisi baik sebagai korban kejahatan, tersangka, saksi, maupun masyarakat yang butuh pelayanan.

Korupsi itu terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah setiap bentuk penyalahgunaan wewenang oleh pejabat polisi yang melibatkan warga negara yang bukan anggota polisi.

Kalau dibeberkan, bukan main banyaknya dosa Korps Pascok ini.  Mulai dari  priit jigo, suap, beking macam-macam termasuk narkoba, salah tembak, saling tembak, selingkuh sampai pembunuhan pacar dan lain-lain.

Harapan reformasi yang sudah sejak lama diungkapkan masyarakat ternyata tidak pernah ditanggapi oleh  Kepolisian kita. Sementara waktu berjalan dan berbagai peristiwa terus bermunculan. Polisi bahkan  seolah tidak menyadari bahwa perubahan ekstrem tengah terjadi dalam kehidupan masyarakat dunia termasuk Indonesia  seperti krisis ekonomi, perdagangan global, perubahan iklim, Ppeta geopolitik, energi, kecanggihan komunikasi, perkembangan bidang kesehatan, perdagangan global dan  perkembangan bioteknologi. Perubahan itu otomatis akan membawa persoalan baru di bidang kamtibmas yang bisa berakibat mudah-pecahnya konflik horizontal.

Kejadian terakhir, penyitaan buku politik kasus tersangka kerusuhan Agustus yang lalu  menunjukkan polisi juga belum melek literasi. Hal ini mencerminkan minimnya pemahaman tentang berbagai paham atau aliran filasafat yang dikenal dunia.

Yang terjadi malah  Kapolri membentuk Tim Transformasi Polri. Apa yang bisa  diharapkan dari tim seperti ini? Pengalaman membuktikan bahwa kebijakan “dari kita, oleh kita, untuk kita” seperti ini cuma bagus untuk bagi-bagi rejeki. Belajar dari janji Kapolri di atas, sudah benarlah Presiden mengambil keputusan untuk melakukan reformasi Polri..

Cepatlah Pak Presiden, segera aktifkan Komite Reformasi Polri. Tim itu harus diisi oleh figur lintas disiplin yang berintegrasi dan berkapasitas agar mendapat kepercayaan publik. Segeralah lakukan reformasi yang menyeluruh. Masalahnya sudah sangat parah karena menyangkut mental sebagian besar aparat. Kepolisian harus dirombak mulai dari kepala sampai buntutnya. Polisi harus diisi oleh orang-orang jujur dan terbaik di bidangnya.  Jujur, profesional dan..pinter ! 

Selama ini orang cuma mengidolakan Jenderal Hoegeng sebagai Polisi yang ideal. Memang, masih ada Polisi yang baik dan memahami doktrin Tri Brata.  Karena itu, para lulusan Akpol yang masih fresh harus disapih sebelum keburu rusak terkontamintasi oleh lingkungannya. Potong sekaligus, Pak… mulai dari kepala sampai buntutnya!

*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *