Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
3. Peregangan Interpretatif: Kekhawatiran yang lebih umum adalah kita mungkin terlalu memaksakan analogy (qiyas). Mekanika kuantum yang terkenal aneh, dan kita cenderung menyamakan misterinya dengan misteri spiritual. Namun terkadang persamaan yang ditarik bersifat dangkal. Misalnya, mengatakan keterikatan itu seperti kemahahadiran adalah perbandingan metaforis, keterikatan menghubungkan partikel-partikel tertentu, sedangkan kemaha-hadiran mengacu pada Tuhan yang sepenuhnya hadir di mana-mana. Mekanisme (jika ada) kemahahadiran Tuhan adalah misteri yang melampaui fisika. Kita harus berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan citra dengan identitas.
Demikian pula, menggunakan ketidakpastian sebagai metafora untuk kehendak bebas tidak menyelesaikan kerumitan filosofis kehendak bebas. Keacakan bukanlah kebebasan, meskipun mungkin merupakan syarat mutlak bagi kebebasan. Intinya adalah analogi kuantum ini menarik dan dapat memacu pemikiran yang lebih mendalam, tetapi bukan satu model yang mutlak.
Analogi ini mengandung unsur spekulatif yang perlu diakui. Kita dapat mengapresiasinya sebagai alat heuristic (metode praktis mengambil kesimpulan dengan jalan cepat), sebuah cara untuk memicu wawasan, tanpa bersikeras mengatakan bahwa, teori kuantum membuktikan kehendak bebas atau keterikatan membuktikan Tuhan ada di mana-mana. Analogi-analogi ini tidak membuktikan hal tersebut; melainkan mengilustrasikan dan memperkaya imajinasi kita.
4. Pluralisme Perspektif: Dalam tradisi keagamaan, tidak semua orang akan sepakat untuk menggunakan mekanika kuantum dalam teologi. Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai integrasi yang menarik, sementara kelompok aliran atau golongan yang lain mungkin lebih menyukai pendekatan yang lebih klasik (misalnya; Jabariyah (fatalistik, deterministik), Qadariyah, Mu’tazilah (memercayai kebebasan mutlak manusia), dan Asy’ariyah (yang dikenal dengan konsep kasb yaitu usaha manusia), Filsafat Thomistik mungkin condong ke konsep Aristoteles tentang tindakan dan potensi daripada analogi fisika modern].
Ada juga risiko mengaitkan Teologi terlalu erat dengan paradigma ilmiah saat ini, telah diketahui sains terus berkembang, dan fisika masa depan mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang realitas. Sejarah dialog sains-agama menunjukkan contoh-contoh teolog yang merangkul gagasan-gagasan ilmiah yang kemudian berubah, sehingga memaksa penafsiran ulang.
Misalnya, para Teolog pada abad pertengahan memandang sains sebagai sarana untuk mencapai kebenaran Teologis yang lebih tinggi, bukan sebagai disiplin yang independen, teolog abad ke-20 sangat tertarik dengan ketidakpastian kuantum dan teori chaos, tetapi jika suatu hari nanti teori segalanya kembali ke bentuk determinisme, model mereka akan menghadapi tantangan. Intinya adalah bahwa setiap teologi yang terlibat dengan sains harus melakukannya dengan antusiasme sekaligus keraguan, memegang wawasannya dengan tangan terbuka.
5.Menanggapi tantangan-tantangan ini, banyak cendekiawan mengambil sikap rendah hati; mekanika kuantum memberikan kemungkinan dan analogi untuk memikirkan tindakan Tuhan atau menjelaskan takdir ilahi, tetapi tidak memberikan jawaban yang pasti.
Bagi mereka yang lebih berpikiran ilmiah atau lebih religius secara tradisional, yang penting untuk tidak menyederhanakan narasinya secara berlebihan. Percakapan antara fisika kuantum dan teologi bukanlah tentang menemukan bukti yang satu di dalam yang lain, melainkan tentang dialog yang berkelanjutan dan memperkaya di mana masing-masing dapat menginformasikan cakrawala satu sama lain. Dengan mengakui keterbatasan pengetahuan ilmiah dan teologi itu sendiri, maka kita dapat menjaga dialog tetap jujur dan menghindari perangkap ganda saintisme naif dan fideisme naif. (Bersambung)
Note: fideisme berpendapat bahwa kebenaran agama tidak dapat dibuktikan melalui penalaran empiris atau logis, melainkan hanya dapat dipahami melalui keyakinan dan iman.
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri