Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Selain menjawab kenapa dalam dzikir ada bilangan-bilangan-nya, lebih dalam adanya tatanan sempurna yang memungkinkan kehidupan ada dan berfungsi, terdapat simetri dan tatanan numerik yang luar biasa dalam Al-Qur’an. Menjelajahinya dapat memperdalam kesadaran kita terhadap kemukjizatan, keagungan dan kemuliaan Al-Qur’an dan Semesta.
Sebuah studi tentang Kode Numerik dan Gematrikal dalam Al-Qur’an menunjukkan hasil yang sangat beragam. Beberapa penelitian menyajikan pendekatan semacam itu sebagai bukti utama asal usul Ilahi Al-Qur’an, dan yang lain menganggap pendekatan semacam itu tidak berarti atau tidak masuk akal.
Studi semacam itu telah menghasilkan hubungan yang menarik dan fakta yang dapat diverifikasi, serta klaim dan penyalahgunaan yang tidak dapat diterima. Diskursus ini merupakan upaya yang lemah-lembut untuk menunjukkan jalan tengah di antara kedua ekstrem tersebut.
Ada tiga puluh bilangan bulat berbeda yang disebutkan dalam Al-Qur’an: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 19, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 99, 100, 200, 300, 1000, 2000, 3000, 5000, 50000 dan 100000. Angka-angka yang dicetak miring dalam daftar hanya muncul satu kali. Delapan pecahan berbeda yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah 1/10, 1/8, 1/6, 1/5, 1/4, 1/3, 1/2 dan 2/3, beberapa di antaranya muncul lebih dari satu kali. Al-Qur’an membuat rujukan umum untuk semua bilangan bulat genap dan ganjil (bilangan bulat) sebagaimana dinyatakan dalam, “Dan [demi] bilangan genap dan ganjil…” (QS. Al-Fajr/89:3).
Selain himpunan bilangan bulat yang mendefinisikan apa yang disebut bilangan yang dapat dihitung, bahkan mungkin untuk menemukan rujukan umum untuk bilangan yang tidak dapat dihitung dalam Al-Qur’an (yaitu bilangan riil, yang juga mencakup bilangan rasional sebagai bagian): “Dan jika kamu mencoba menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menentukannya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. An-Nahl/16:18).
Sistem nilai gematrikal Arab, juga dikenal sebagai abjad, menetapkan bilangan bulat untuk setiap huruf dalam alfabet Arab. Abjad itu digunakan jauh sebelum Islam, dan telah digunakan oleh banyak sarjana dan orang suci setelah Islam.
Pada dasarnya ada enam sistem abjad: mayor, besar, kecil (standar), minor, bertanda, dan tidak bertanda. Praktik meramal kejadian masa depan menggunakan sistem abjad pada teks-teks suci terkadang disebut hasab al-jifr, hasab al-jummal, atau gematria.
Sebelum membahas kode Numerik dan gematrikal dalam Al-Qur’an, mungkin ada baiknya mengingat aspek misterius lain dari bilangan bulat. Terkait dengan sebagian besar bilangan bulat kecil, ada beberapa simbolisme yang sering digunakan dalam tradisi Sufi. Untuk memahami dasar simbolisme mistik, ayat-ayat tempat angka-angka ini muncul harus dipelajari dengan saksama.
Selain itu, huruf Arab yang sesuai dengan setiap angka dalam sistem gematrikal (abjad) harus dipertimbangkan. QS. al-Baqarah/2:196, misalnya, menyatakan “ini (membuat) sepuluh (hari) lengkap,” yang menunjukkan rasa kelengkapan dan kematangan untuk angka 10, karena kata kamilah dalam teks asli menunjukkan makna tersebut. Kebetulan, huruf Arab ya memiliki nilai abjad 10; itu adalah huruf terakhir dari alfabet Arab dan melengkapi ayat tersebut. Demikian pula, angka 3 terlihat menunjukkan pengumpulan dan kekuatan.
Disebutkan dalam sebuah hadits dua sebagai jumlah minimum bagi sekelompok orang untuk membentuk konvoi atau jemaat. Kita juga membaca QS. Yasin/36 ayat 14 dengan referensi serupa: “Ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang, lalu mereka mendustakannya, maka Kami kuatkan mereka dengan orang yang ketiga, dan mereka berkata: Sesungguhnya kami ini adalah utusan kepadamu.” Di sisi lain, huruf jim memiliki nilai abjad 3, dan merupakan huruf pertama dari kata kerja dasar j-m-a yang memunculkan sebagian besar kata yang menunjukkan jamaat dan berkumpul, seperti jumua dan jamaah, Sebagian besar bilangan bulat kecil dikaitkan dengan simbolisme numerologi yang serupa. (Bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri