Lomba Penulisan Puisi PWI Depok: Satu Kalimat, Merinding!

Pijarberita.com, Depok — Pagi di Kota Depok datang dengan lembut, seperti membuka tirai hari yang istimewa. Langitnya biru muda, sedikit berawan, sementara matahari menembus sela dedaunan di halaman kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, Selasa.

Bendera merah putih sudah berkibar di tiang, sedikit berayun terkena hembusan angin yang ringan. Di halaman kecil itu, beberapa wartawan sibuk menata meja, kursi, dan tak ada pengeras suara. Tak ada seremoni besar. Tak ada panggung megah.

Tapi pagi itu, ada yang lebih berharga: sebuah perayaan kecil tentang makna kata dan semangat muda. Pagi yang Dipenuhi Kata. Sekitar pukul sembilan, halaman kantor PWI sudah ramai. Anak-anak berseragam putih abu, biru, dan merah berdatangan ditemani orang tuanya masing-masing. Beberapa wajah anak-anak itu tampak ceria, sebagian memeluk map berisi kertas puisi dengan rapi. Di antara mereka, terdengar tawa gugup, percakapan kecil, dan sesekali suara ponsel dari orang tua yang ingin mengabadikan momen.

Dari arah dalam, muncul sosok Rusdy Nurdiansyah, Ketua PWI Kota Depok. Ia mengenakan kemeja cokelat muda, bertopi hitam, wajahnya teduh, langkahnya tenang. Begitu berdiri di depan para tamu, ia menyapu pandang ke seluruh peserta. “Selamat pagi, anak-anak hebat Depok!” katanya lantang.

“Pagi ini bukan sekadar lomba. Ini adalah cara kita memperingati sumpah yang dulu diucapkan dengan darah dan air mata: Sumpah Pemuda. Tapi hari ini, kita memperbaruinya dengan tinta dan kata. Menulislah dengan puitis,” ucap Rusdy.

Tepuk tangan pun terdengar, pelan namun menggema. Beberapa peserta tersenyum, sebagian lainnya tampak menunduk, menyiapkan diri untuk sesuatu yang mungkin jadi kenangan seumur hidup.

Menulis di Antara Bising Dunia Digital

Di masa ketika unggahan di media sosial sering lebih cepat dari pikiran, lomba menulis puisi terasa seperti langkah mundur.Tapi justru di situlah nilainya. Pagi itu, di ruang sederhana PWI, langkah mundur itu menjadi langkah maju yang berarti.

“Menulis adalah cara kita menata hati,” ujar salah satu juri, seorang wartawan senior yang juga penyair, Adie Rakasiwi.“Kata-kata adalah napas bangsa. Kalau anak-anak muda tak lagi menulis, siapa yang nanti menjaga nurani bahasa kita?” tanya Adie.

Satu kalimat, merinding! Saat karya-karya mulai dibacakan para juara I, II, III dan IV. Ruangan itu seperti menjadi taman kecil tempat kata tumbuh kembali. Ada yang gugup, ada yang berani. Ada yang terbata, ada yang lantang. Tapi semuanya jujur. Tak ada kalimat yang dibuat untuk pamer, semuanya datang dari dalam diri.

Empat Suara, Empat Cahaya

Dari puluhan karya yang masuk, juri akhirnya memilih empat pemenang terbaik. Empat nama yang pagi itu berdiri dengan pipi memerah, menatap ruangan dengan mata berkilat bukan karena lampu, tapi karena cahaya rasa bangga. Mereka datang dari jenjang berbeda: SD, SMP, hingga SMA di Depok.

Tapi pagi itu, mereka setara sama-sama anak bangsa yang berbicara dengan bahasa hati. Dan, ada 4 pelajar yang menjadi juaranya, berhak mendapat hadiah: Juara I mendapatkan hadiah uang Rp 1 juta plus Piagam Penghargaan dan voucher Optik Sejahtera. Doctor Consultation. Juara II mendapatkan hadiah uang Rp 750 ribu plus Piagam Penghargaan dan voucher Optik Sejahtera. Juara III dan IV mendapatkan hadiah uang Rp 250 ribu plus Piagam Penghargaan dan voucher Optik Sejahtera.

Juara I: Syesa Agni Fatin, SMA Arrahman Depok. Judul: “Cahaya di Pelupuk Nusantara. ”Puisi Syesa tak berteriak. Dia menulis dengan tenang, seperti seseorang yang sudah lama mengenal arti berprestasi. (jal)

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *